TASIKMALAYA | Priangan.com – Jumlah anak putus sekolah di Kabupaten Tasikmalaya yang kini melampaui 29 ribu orang kembali memicu perhatian serius dari berbagai pihak.
Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Asep Saepuloh, menyampaikan bahwa kondisi tersebut sudah berada pada tahap yang tidak dapat dianggap sepele dan membutuhkan langkah penanganan yang segera dan terukur.
Asep menilai situasi ini sangat memprihatinkan, terlebih sebagian besar anak yang tidak lagi bersekolah justru berada pada usia pendidikan dasar dan menengah pertama.
Ia mengatakan bahwa fenomena tersebut menjadi indikator kuat adanya persoalan di lapangan yang belum terdeteksi secara menyeluruh oleh pemerintah daerah.
“Angka sebesar ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Apalagi banyak kasus terjadi pada usia wajib belajar. Ini sudah sangat mengkhawatirkan,” ujarnya, Senin (23/11/2025).
Ia menegaskan pemerintah daerah harus terlebih dahulu memahami faktor utama yang membuat ribuan anak tersebut terputus dari pendidikan.Menurutnya, tanpa analisis detail, upaya penanganan tidak akan efektif.
“Kita tidak boleh hanya melihat angkanya saja. Pemerintah harus mengetahui betul apa yang mendorong anak-anak ini berhenti sekolah. Kalau akar masalahnya jelas, langkah perbaikannya pun akan lebih tepat,” tuturnya.
Asep juga mempertanyakan apabila alasan ekonomi menjadi penyebab dominan, mengingat pemerintah telah menyediakan berbagai bantuan pendidikan. Ia menyebut fasilitas pendidikan dasar saat ini sudah bebas biaya, bahkan ditunjang bantuan seperti Program Indonesia Pintar (PIP) dan berbagai bantuan sosial lainnya.
“Kalau alasannya ekonomi, sebenarnya pemerintah sudah menyediakan banyak bantuan. Seharusnya anak tidak perlu berhenti sekolah hanya karena masalah biaya,” katanya.
Namun demikian, Asep menduga ada faktor tambahan yang mungkin selama ini luput dari perhatian pemerintah, seperti biaya transportasi, kebutuhan perlengkapan sekolah, hingga kondisi sosial dalam keluarga. Menurutnya, hal-hal tersebut dapat menjadi beban tersendiri bagi sejumlah keluarga.
“Di lapangan mungkin ada persoalan lain yang lebih berat bagi mereka. Bisa saja soal ongkos, peralatan sekolah, atau masalah di tingkat keluarga. Itu juga harus diselidiki,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa situasi ini hanya dapat diselesaikan apabila pemerintah daerah benar-benar turun langsung dan melakukan pengecekan di wilayah-wilayah dengan angka putus sekolah tertinggi.
Menurutnya, kebijakan yang hanya dibuat di meja rapat tidak akan memberikan hasil berarti.
“Pemerintah harus mendatangi titik-titik rawan. Jangan hanya mengandalkan laporan. Temui orang tua, temui sekolah, dengarkan permasalahan nyata mereka. Baru kemudian rumuskan tindakan,” tegasnya.
Asep juga mengingatkan bahwa dampak dari tingginya angka putus sekolah tidak hanya berpengaruh pada dunia pendidikan, tetapi juga dapat berdampak pada persoalan sosial di masa depan.
Ia mengatakan bahwa anak-anak yang kehilangan kesempatan belajar akan lebih rentan terhadap berbagai persoalan sosial dan ekonomi.
“Kalau kita biarkan, dampaknya bisa panjang. Mereka yang tidak sekolah berpotensi menghadapi kesulitan pekerjaan, masalah sosial, bahkan meningkatkan beban negara di masa depan,” katanya.
Ia berharap pemerintah daerah benar-benar serius dalam menangani persoalan ini, bukan hanya dalam bentuk janji atau perencanaan di atas kertas.
“Kami di DPRD ingin melihat ada langkah nyata. Jangan sampai semua ini hanya menjadi wacana. Yang kita butuhkan sekarang adalah tindakan,” tambahnya.
Komisi IV DPRD Kabupaten Tasikmalaya pun menunggu evaluasi yang sedang dilakukan pemerintah daerah dan meminta agar hasilnya dapat diterjemahkan menjadi kebijakan konkret yang langsung menyasar persoalan inti.
“Anak-anak di Kabupaten Tasikmalaya berhak mendapatkan pendidikan. Hak itu tidak boleh hilang hanya karena masalah yang sebenarnya bisa kita selesaikan bersama,” tutup Asep. (yna)

















