Alaska: Negeri Amerika dengan Jejak Rusia, di Persimpangan Sejarah

JUNEAU | Priangan.com – Alaska mungkin tampak jauh dan terasing, sebuah negeri dingin di ujung peta Amerika Serikat. Namun di balik pegunungan es dan laut beku itu tersimpan kisah panjang yang mempertemukan Rusia dan Amerika, dua kekuatan besar dunia yang pada akhirnya berbagi sejarah di tanah yang sama. Sejak abad ke-18, Alaska menjadi ruang pertemuan antara ambisi kekaisaran, kehidupan masyarakat pribumi, dan kepentingan geopolitik, jejaknya masih terasa hingga kini.

Sebagaimana dilansir dari RT News, perjalanan Rusia menuju Alaska bermula dari Siberia, wilayah luas yang seakan tak berujung. Pada awal 1700-an, para penjelajah Rusia terus bergerak ke timur, menyusuri sungai, menembus hutan, hingga mencapai Kamchatka dan Chukotka di tepi Samudra Pasifik. Dari sana mereka mulai mendengar kabar tentang daratan baru di seberang lautan. Ada kisah nelayan Rusia yang terseret badai hingga mendarat di tanah asing, ada pula cerita dari suku Chukchi yang ditawan dan menyebut adanya negeri lain di balik ombak.

Rumor itu akhirnya terbukti pada 1741, ketika Vitus Bering dan Aleksei Chirikov berhasil menyeberangi laut dan tiba di pesisir Alaska. Mereka memang tidak menemukan pemukim Rusia, tetapi laporan mereka menegaskan bahwa ada daratan baru yang kaya sumber daya. Sejak saat itu, perhatian Rusia beralih ke perairan dingin yang dipenuhi berang-berang laut, walrus, dan rubah Arktik. Bulu-bulu hewan itu sangat mahal di pasar internasional, menjadikan setiap pelayaran menuju Alaska penuh harapan keuntungan.

Akhir abad ke-18, Rusia mulai mendirikan pemukiman pertama di Pulau Kodiak melalui ekspedisi pedagang Grigory Shelikhov. Dari benteng kecil itu lahirlah komunitas baru yang terdiri dari pemukim Rusia, suku Aleut, dan misionaris Ortodoks. Jumlah mereka masih ratusan, tetapi semangat ekspansi terasa kuat.

Pada 1799, berdirilah Perusahaan Rusia-Amerika, yang diberi hak monopoli perdagangan bulu. Perusahaan ini menjadi simbol kehadiran resmi Rusia di Alaska. Menariknya, bagi sebagian pemukim, hidup di Alaska dianggap lebih bebas sebab jauh dari pajak, kerja paksa, dan penguasa yang menindas. Mereka bahkan punya ungkapan, “Tidak ada penguasa di Amerika”,sebagai bentuk kelegaan hidup di negeri dingin nan jauh itu.

Lihat Juga :  32 Tahun Kasus Marsinah: Ketika Suara Kaum Buruh Dibungkam Penguasa

Namun, tidak semua pihak menyambut kedatangan Rusia. Di Sitka, mereka berhadapan dengan suku Tlingit, masyarakat pejuang yang merasa wilayah dan sumber daya mereka dirampas. Konflik pun tak terelakkan. Tahun 1802, Tlingit menyerang benteng Rusia, membakar pemukiman, dan menewaskan banyak orang, termasuk sekutu Aleut.

Dua tahun kemudian, pimpinan koloni Alexander Baranov membalas dengan kekuatan penuh. Benteng kayu Tlingit dikepung, dihujani meriam, hingga akhirnya ditinggalkan. Pertempuran ini memperlihatkan betapa sulitnya Rusia menanamkan pengaruh di tanah asing. Meski begitu, seperti banyak kisah kolonial lain, perdamaian justru tercipta bukan lewat senjata, melainkan lewat perdagangan: roti, kentang, dan tembakau perlahan mengurangi permusuhan.

Cakupan ambisi Rusia bahkan meluas hingga California. Pada 1812, mereka membangun Fort Ross di pesisir utara San Francisco. Tanah itu dibeli murah dari penduduk asli dengan selimut, celana, kapak, dan cangkul. Dari benteng kayu tersebut, Rusia berharap bisa menyuplai makanan untuk para pemburu di Alaska, sekaligus membuka jalur dagang dengan Spanyol. Walau tak bertahan lama, Fort Ross kini menjadi situs bersejarah yang mengingatkan pada jejak Rusia di tanah Amerika.

Lihat Juga :  Siapa Pencetus Pertama THR?

Meski terkesan ambisius, kenyataannya Rusia kesulitan menjaga koloninya. Jumlah pemukim tak pernah lebih dari seribu orang. Bahkan, pada pertengahan abad ke-19, orang Kreol atau keturunan campuran Rusia dan penduduk asli lebih banyak daripada pemukim murni.

Kondisi Alaska yang keras, jaraknya yang jauh dari St. Petersburg, biaya logistik yang mahal, dan keuntungan perdagangan yang makin menurun membuat koloni ini terasa lebih seperti beban. Ancaman Inggris dan Amerika yang semakin nyata membuat situasi bertambah genting.

Maka, muncul gagasan untuk melepas Alaska. Gubernur Siberia Timur, Nikolai Muravyov-Amursky, berpendapat bahwa mempertahankan wilayah itu hanya menguras tenaga. Lebih baik dijual ke Amerika Serikat, tetangga dekat yang lebih mampu mengelolanya daripada jatuh ke tangan Inggris.

Lihat Juga :  Bukan Sekadar Hiburan, Ini Film yang Mengubah Cara Dunia Memandang Perempuan

Pada 1867, Tsar Alexander II akhirnya menyetujui penjualan Alaska seharga 7,2 juta dolar. Meski dianggap murah dan menuai kontroversi, hasil penjualan itu dipakai untuk membiayai pembangunan kereta api di Rusia, yang saat itu lebih dibutuhkan.

Sejak saat itu, Alaska menjadi simbol hubungan yang unik. Pada abad ke-20, maknanya kembali mengemuka. Selama Perang Dunia II, kota kecil Fairbanks menjadi pusat vital program Lend-Lease, jalur bantuan militer Amerika Serikat bagi Uni Soviet. Dari lapangan udara Alaska, ratusan pesawat dan peralatan tempur dikirimkan ke Front Timur, membantu Moskwa bertahan menghadapi Nazi Jerman. Ironisnya, tanah yang pernah dijual kepada Washington justru menjadi jembatan penyelamat bagi Rusia di masa perang.

Bahkan setelah menjadi negara bagian Amerika, Alaska tetap menyimpan jejak “Rusia” yang kuat. Di beberapa desa, keturunan para pemukim abad ke-19 terutama kelompok Penganut Kepercayaan Lama yang dahulu bermigrasi demi kebebasan beragama masih melestarikan bahasa, tradisi, dan iman mereka. Gereja-gereja Ortodoks tetap berdiri, sementara nama-nama tempat seperti Nikolaevsk, Voznesensk, dan Danau Rusia Hulu maupun Hilir menjadi pengingat akan akar sejarah itu.

Di masa kini, pilihan Alaska sebagai tempat pertemuan Trump dan Putin menghadirkan sebuah lapisan makna yang dalam. Di satu sisi, ia mengingatkan akan sejarah panjang hubungan Rusia–Amerika, ketika kedua bangsa pernah bertetangga langsung dan menjalin kerja sama yang saling menguntungkan.

Di sisi lain, pertemuan itu juga mencerminkan keseimbangan geopolitik abad ke-21, ketika dua kekuatan besar dunia masih mencari titik temu dalam persaingan dan kerja sama. Alaska, dengan alamnya yang keras sekaligus indah, tetap menjadi ruang simbolis di mana sejarah, budaya, dan politik bertemu. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos