TASIKMALAYA | Priangan.com – Wakil Wali Kota Tasikmalaya, Dicky Chandra, mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi setelah menyatakan keresahannya soal kesenian yang sepi geliat di Kota Santri. Pernyataan Dicky bahwa Gedung Kesenian Dadaha “berdiri sendiri” dinilai sebagai kegelisahan yang tidak akan cukup mengubah keadaan jika tidak dibarengi dengan langkah konkret dan keberanian eksekusi kebijakan.
Akademisi Universitas Cipasung, Rico Ibrahim, menyampaikan kritik tajam terhadap pernyataan tersebut. Menurut Rico, sebagai pejabat publik yang juga berlatar belakang seni dan pernah menjadi Wakil Bupati Garut, Dicky seharusnya lebih dari sekadar menyampaikan keresahan.
“Pak Dicky itu punya rekam jejak yang kuat di dunia seni. Jadi bukan saatnya beliau hanya resah. Pemerintah itu jangan cuma jadi penonton, harusnya bisa jadi fasilitator yang aktif,” kata Rico kepada Priangan.com, Minggu (20/7/2025).
Ia mendorong Dicky untuk segera mengajak seniman, budayawan, akademisi, hingga tokoh masyarakat duduk bersama dalam forum terbuka untuk membahas akar masalah dan solusi konkret bagi kebangkitan kesenian dan kebudayaan Kota Tasikmalaya.
“Buat forum yang serius. Undang seniman dan tokoh-tokoh budaya untuk cari tahu kenapa kesenian kita stagnan. Pemerintah tinggal fasilitasi dan jalankan rekomendasinya, itu yang paling realistis,” ucap Rico.
Lebih jauh, Rico menekankan perlunya membentuk Dinas Kebudayaan yang berdiri sendiri, seperti di Yogyakarta, sebagai bukti keseriusan pemerintah daerah dalam melestarikan budaya lokal. Menurutnya, selama ini perhatian terhadap budaya hanya sebatas tempelan kegiatan seremonial, tanpa ada program jangka panjang yang berkelanjutan.
“Kalau memang seni dan budaya jadi perhatian, buat dinas sendiri. Jangan digabung terus ke Disparpora. Ini soal komitmen politik kepala daerah, jangan tanggung-tanggung,” ujarnya.
Ia juga menyinggung pentingnya membentuk Forum Komunikasi Kebudayaan yang aktif, bukan sekadar simbolik. Forum ini, kata dia, harus diberi anggaran, target kerja, dan ruang untuk terlibat dalam perumusan arah kebijakan budaya daerah.
“Forum itu bukan hanya bahas tari dan teater. Tapi soal budaya secara menyeluruh, dari nilai-nilai lokal, pendidikan, hingga gaya hidup anak muda. Harus dibangun supaya budaya kita enggak punah diam-diam,” tambah Rico.
Dicky Chandra sebelumnya menyebut Gedung Kesenian Dadaha membutuhkan “teman” agar hidup kembali, seraya menyampaikan bahwa pelestarian budaya termasuk dalam tugas pokoknya. Ia juga menyatakan tengah menggagas aktivasi ulang kegiatan-kegiatan di Dadaha serta menyoroti keberadaan mata air dan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawabnya.
Namun bagi Rico, publik butuh bukti. Sebab saat ini, geliat kesenian di Kota Tasikmalaya berada di titik nadir, terutama di kalangan anak muda yang semakin jauh dari akar budaya lokal.
“Kita bukan lagi di tahap menyemangati. Sekarang waktunya bertindak. Jangan sampai kesenian kita hidup segan, mati tak mau,” tegasnya.
Ia juga menantang Dicky dan Wali Kota Viman Alfarizi Ramadhan untuk membuktikan komitmen politik mereka terhadap pelestarian seni dan budaya lokal. Apalagi Dicky sudah menggagas program Jalan-Jalan Pintar (JJP) sebagai bentuk penyerapan aspirasi.
“Jangan cuma jalan-jalan, tapi hasilnya jalan di tempat. Arahkan kebijakan konkret dari hasil program itu untuk mendongkrak sektor kebudayaan. Jangan sampai Pak Dicky yang artis malah gagal menyelamatkan dunia seni di kotanya sendiri,” tutup Rico. (yna)