TASIKMALAYA | Priangan.com – Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tengah menjadi sorotan tajam. Forum Penyelamat Ekonomi Rakyat (FPER) mendesak Bupati dan jajarannya untuk segera mengambil tindakan nyata terhadap maraknya toko modern yang diduga beroperasi tanpa izin resmi.
Ketua FPER Asep Abdul Rofik menyebut, setidaknya terdapat 48 minimarket di berbagai kecamatan yang tidak memiliki legalitas. Temuan itu didasarkan pada pemantauan lapangan yang dilakukan oleh relawan FPER dalam beberapa bulan terakhir.
Asep menilai, menjamurnya toko-toko modern ilegal tersebut tak bisa dilepaskan dari lemahnya pengawasan pemerintah dan perubahan pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional dan Toko Modern. Perda yang semula digagas untuk menjaga keberlangsungan pasar rakyat, kata Asep, justru kini kehilangan taji di tengah gempuran ekspansi retail modern.
“Kami memberikan tenggat waktu tiga hari atau 3×24 jam kepada Pemkab Tasikmalaya untuk menindak tegas minimarket yang jelas-jelas melanggar. Kalau tidak, kami pertimbangkan untuk turun ke lapangan sendiri,” kata Asep kepada wartawan, Minggu (20/7/2025).
Menurutnya, keberadaan minimarket ilegal bukan hanya persoalan administrasi, tetapi soal keberpihakan pada ekonomi rakyat. Kehadiran toko modern yang tumbuh secara masif telah membuat pedagang pasar tradisional dan pelaku UMKM lokal kehilangan napas.
“Ini soal keberlanjutan ekonomi rakyat. Kalau pembiaran ini diteruskan, UMKM bisa habis. Pemerintah jangan jadi penonton,” tegasnya.
Pernyataan keras itu langsung memantik reaksi Wakil Bupati Tasikmalaya, Asep Sopari Al Ayubi. Ia secara terbuka mengaku geram dengan kondisi ini. Menurut Asep, pemerintah daerah tidak akan mentoleransi keberadaan toko modern yang beroperasi tanpa izin.
Ia memerintahkan tiga dinas terkait — yakni Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag), serta Satpol PP — untuk segera turun tangan.
“Tidak ada alasan untuk membiarkan mereka. Kalau tidak sesuai RTRW, apalagi tidak punya izin, ya harus ditindak. Saya minta segera ada langkah nyata di lapangan,” ujarnya.
Namun Asep juga menyoroti persoalan yang lebih dalam: lemahnya koordinasi lintas sektor. Ia menyebut, ketiga dinas tersebut melaporkan data jumlah minimarket ilegal yang berbeda-beda. Ketidaksinkronan itu dinilainya sebagai bukti lemahnya integrasi kebijakan dan pengawasan antar-lembaga pemerintah.
“Kalau masing-masing dinas punya angka berbeda, berarti koordinasi belum maksimal. Ini akan jadi prioritas saya untuk ditelusuri. Kita tidak bisa menertibkan kalau datanya sendiri tidak valid,” katanya.
Sebagai langkah awal, Asep akan memanggil ketiga dinas tersebut dalam rapat koordinasi yang dijadwalkan pada Senin, 21 Juli 2025. Ia menegaskan, legalitas usaha tidak hanya penting untuk perlindungan hukum, tetapi juga menyangkut kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Minimarket berizin dapat dikenai retribusi dan pajak yang pada akhirnya menjadi sumber pembiayaan pembangunan daerah.
“Kalau semua usaha taat aturan, PAD kita bisa naik, dan itu kembali ke masyarakat dalam bentuk program pembangunan. Tapi kalau yang ilegal dibiarkan, kita rugi secara fiskal dan secara moral,” ujarnya. (yna)