D.I YOGYAKARTA | Priangan.com – Ketika akses pendidikan bagi perempuan dirampas, Wanita Taman Siswa hadir sebagai ruang perjuangan pendidikan perempuan pada awal 1930-an. Dari sanalah pendidikan perlahan beralih fungsi, tidak lagi sekadar proses belajar-mengajar, melainkan senjata utama emansipasi perempuan.
Perjuangan ini tidak lahir secara tiba-tiba. Ia bertumbuh dari perjalanan hidup Nyi Hadjar Dewantara, sosok yang menjadikan pendidikan sebagai ikhtiar panjang melawan ketimpangan sosial dan kolonialisme.
Nyi Hadjar Dewantara lahir dengan nama Raden Ajeng Sutartinah di Yogyakarta pada 14 September 1890. Meski berasal dari lingkungan priyayi Jawa, kehidupannya dibentuk oleh nilai kesederhanaan dan kedisiplinan yang kelak memengaruhi pandangannya tentang peran sosial dan pendidikan perempuan.
Sejak kecil, Sutartinah memperoleh akses pendidikan yang relatif maju bagi perempuan pribumi pada masanya dengan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Di luar pendidikan Barat, ia juga dibekali pengetahuan budaya Jawa, keterampilan membatik, serta kerja-kerja domestik. Perpaduan inilah yang membentuk keyakinannya bahwa pendidikan harus bersifat utuh, membumi, dan dekat dengan realitas kehidupan perempuan.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya, Sutartinah melanjutkan pendidikan guru di bawah bimbingan R.M. Rio Gondoatmodjo dan mulai mengajar sebagai guru pembantu. Pilihan menjadi pendidik merupakan kesadaran awal bahwa perubahan sosial hanya mungkin dicapai melalui pendidikan.
Pada tahun 1919, ia menikah dengan Ki Hadjar Dewantara. Pernikahan ini berkembang menjadi kemitraan perjuangan. Nyi Hadjar tidak hanya menjalankan peran domestik, tetapi terlibat aktif dalam aktivitas sosial, politik, dan pendidikan yang penuh risiko.
Sekembalinya ke Indonesia, tekanan kolonial belum mereda. Ketika Ki Hadjar kembali dikriminalisasi dan dipenjara, Nyi Hadjar mengambil peran penting dalam memastikan keberlangsungan hidup keluarga dan perjuangan, sekaligus aktif mencari keadilan melalui jaringan sosial yang dimilikinya.
Kiprah terpenting Nyi Hadjar Dewantara terwujud melalui Perguruan Taman Siswa yang didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Sejak awal, Taman Siswa dirancang sebagai lembaga pendidikan nasional yang merdeka, berakar pada kebudayaan sendiri, dan terbuka bagi semua golongan, termasuk perempuan.
Meningkatnya jumlah murid perempuan justru memperjelas keterbatasan yang mereka hadapi. Pendidikan bagi perempuan masih terkungkung oleh norma patriarki dan kebijakan kolonial, sementara ruang aman untuk berdiskusi dan bertumbuh hampir tidak tersedia. Menyadari kondisi tersebut, Nyi Hadjar Dewantara memprakarsai berdirinya Organisasi Wanita Taman Siswa.
Dilansir dari IDN Times Jogja, organisasi ini diresmikan pada 31 Maret 1931 dengan Nyi Hadjar Dewantara sebagai pelopor dan ketua. Wanita Taman Siswa bertujuan memperjuangkan hak pendidikan perempuan, meningkatkan martabat kaum perempuan, serta membekali mereka dengan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran kebangsaan.
Pada awalnya, keanggotaan Wanita Taman Siswa terbatas pada perempuan di lingkungan Taman Siswa Yogyakarta. Namun, organisasi ini berkembang pesat dan membuka diri bagi perempuan di luar lingkungan tersebut. Cabang-cabang didirikan di berbagai daerah hingga terbentuk Badan Pusat Wanita Taman Siswa di Yogyakarta.
Dilansir dari Kompasiana, dalam praktik pendidikannya Wanita Taman Siswa menerapkan metode Among, yakni pendekatan pendidikan yang menyesuaikan bimbingan dengan usia dan perkembangan peserta didik. Pendidikan perempuan tidak hanya diarahkan pada penguasaan akademik, tetapi juga pembentukan karakter, etika, dan nasionalisme, dengan tujuan membentuk perempuan yang mandiri dan berkesadaran kebangsaan.
Ujian terberat datang pada tahun 1932 ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Kebijakan ini mengancam kemandirian Taman Siswa dengan mewajibkan izin resmi dan sertifikasi guru. Menanggapi hal tersebut, Ki Hadjar Dewantara dan Wanita Taman Siswa melakukan perlawanan melalui aksi satyagraha.
Ketika sekolah-sekolah Taman Siswa ditutup dan disegel, perjuangan tidak berhenti. Wanita Taman Siswa menjalankan strategi “gerilya pendidikan” dengan menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar secara sembunyi-sembunyi di rumah guru dan murid. Perlawanan ini menuai simpati luas hingga akhirnya pemerintah kolonial mencabut Ordonansi Sekolah Liar.
Di luar pendidikan formal, Nyi Hadjar Dewantara aktif menyuarakan isu perempuan melalui tulisan di majalah Wasita dan Pusara, serta memanfaatkan siaran radio sebagai medium advokasi. Perannya di tingkat nasional semakin menguat ketika ia terlibat dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 1928 sebagai perwakilan Wanita Taman Siswa.
Pasca-kemerdekaan, pengabdian Nyi Hadjar Dewantara terus berlanjut. Ia terlibat dalam pendirian Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa dan menjabat sebagai rektor pada 1965. Ia juga melaksanakan amanat Ki Hadjar Dewantara dengan menjadikan rumah peninggalan mereka sebagai museum pendidikan.
Perjalanan Nyi Hadjar Dewantara bersama Wanita Taman Siswa memperlihatkan bahwa perubahan tidak selalu lahir dari panggung besar. Pendidikan perempuan tumbuh dari kerja sunyi, dari ruang-ruang kecil yang dijaga dengan kesabaran dan keyakinan. Melalui pendidikan, Nyi Hadjar Dewantara membuka jalan emansipasi yang perlahan tetapi kokoh bagi perempuan Indonesia. (LSA)

















