TASIKMALAYA | Priangan.com – Kualitas kesehatan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya kembali menjadi sorotan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, angka harapan hidup (AHH) di Kabupaten Tasikmalaya tercatat masih rendah, yakni berada di angka 70,39 tahun. Capaian tersebut berada di bawah rata-rata Provinsi Jawa Barat dan tertinggal cukup jauh dibanding wilayah tetangganya, Kota Tasikmalaya.
Data BPS juga menunjukkan adanya ketimpangan angka harapan hidup berdasarkan gender. Penduduk laki-laki di Kabupaten Tasikmalaya rata-rata memiliki harapan hidup hingga 68,47 tahun, sementara perempuan mencapai 72,41 tahun. Selisih ini mencerminkan perbedaan risiko kesehatan, pola hidup, serta akses layanan kesehatan antara laki-laki dan perempuan.
Jika dibandingkan secara regional, kondisi Kabupaten Tasikmalaya terlihat masih tertinggal. Di tingkat Provinsi Jawa Barat, angka harapan hidup penduduk laki-laki telah mencapai 72,26 tahun, sedangkan perempuan berada di angka 76,56 tahun. Sementara itu, Kota Tasikmalaya sudah mencatatkan angka harapan hidup rata-rata sebesar 75,31 tahun, jauh di atas kabupaten.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, Heru Suharto, mengakui bahwa rendahnya angka harapan hidup tersebut menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah. Ia menyebut, peningkatan AHH bukan proses instan dan memerlukan intervensi jangka panjang lintas sektor.
“Kita sedang berproses. Mudah-mudahan bisa terus meningkat, karena indikator angka harapan hidup itu tidak berdiri sendiri. Banyak parameter dan indikator yang harus dipenuhi, dan hasilnya bersifat kumulatif,” ujar Heru saat dikonfirmasi, Jumat (19/12/2025).
Menurut Heru, AHH merupakan cerminan kualitas kesehatan masyarakat secara menyeluruh, mulai dari layanan kesehatan dasar, status gizi, hingga kondisi sosial ekonomi. Karena itu, rendahnya AHH tidak bisa dilihat hanya dari satu faktor semata.
Saat ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya memprioritaskan sejumlah intervensi strategis untuk mendongkrak angka harapan hidup. Salah satu fokus utama adalah menekan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perhitungan AHH.
“Penurunan AKI dan AKB menjadi prioritas karena dampaknya sangat besar terhadap angka harapan hidup. Ini yang terus kita dorong melalui peningkatan layanan kesehatan ibu dan anak,” kata Heru.
Selain itu, upaya promotif dan preventif di masyarakat terus diperkuat, termasuk peningkatan derajat kesehatan melalui layanan kesehatan primer, edukasi pola hidup sehat, serta pengendalian penyakit menular dan tidak menular. Penanganan stunting juga menjadi perhatian serius karena berkaitan langsung dengan kualitas sumber daya manusia di masa depan.
“Stunting, kesehatan ibu dan anak, gizi masyarakat, semuanya saling berkaitan. Ini bukan hanya soal satu indikator, tapi keseluruhan kualitas hidup masyarakat,” ujarnya.
Heru menegaskan, kondisi AHH yang masih stagnan di kisaran 70,4 tahun menjadi indikator kinerja penting bagi Dinas Kesehatan ke depan. Pemerintah daerah dituntut untuk memperkuat kolaborasi dengan sektor lain, mulai dari pendidikan, lingkungan, hingga perlindungan sosial, agar peningkatan kesehatan masyarakat dapat berjalan lebih komprehensif. (yna)

















