TASIKMALAYA | Priangan.com – Pemerintah Kota Tasikmalaya melalui Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) bersiap menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) Tahun 2026. Penetapan besaran upah tersebut akan ditentukan melalui sidang pleno Dewan Pengupahan yang melibatkan unsur pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
Kepala Disnaker Kota Tasikmalaya, Deni Diyana, menyampaikan bahwa mekanisme penetapan UMK tahun ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2025. Berdasarkan simulasi awal, besaran UMK 2026 diperkirakan menembus angka Rp 3 juta, meningkat dari UMK tahun 2025 yang berada di angka Rp 2.801.962.
“Formula kenaikan upah dihitung berdasarkan variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi, serta indeks tertentu atau alfa. Sidang pleno akan digelar paling lambat Senin (22/12/2025) untuk menentukan angka final,” kata Deni, Minggu (21/12/2025).
Deni menjelaskan, pemerintah pusat telah memberikan rambu-rambu yang jelas terkait batas bawah dan batas atas kenaikan UMK. Dengan ketentuan tersebut, kenaikan upah tidak boleh terlalu rendah, namun juga tidak boleh melampaui ambang batas yang dinilai memberatkan dunia usaha.
Terkait isu nasional yang menyebutkan kenaikan UMK sebesar 8,5 persen, Deni menegaskan pihaknya belum bisa memastikan angka tersebut akan diterapkan di Kota Tasikmalaya. Menurutnya, seluruh keputusan tetap menunggu hasil kesepakatan bersama dalam forum Dewan Pengupahan.
“Kami mencari jalan tengah agar hak buruh terpenuhi, tetapi pelaku usaha juga tetap bisa bertahan. Prinsipnya adalah keseimbangan,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, berdasarkan data Disnaker, terdapat sekitar 600 perusahaan yang beroperasi di Kota Tasikmalaya, mulai dari usaha rumahan, UMKM, hingga industri skala besar. Sebagian perusahaan tersebut sudah mengikuti standar UMK, namun sebagian lainnya masih menghadapi keterbatasan dalam penerapannya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Kabupaten (DPK) Apindo Kota Tasikmalaya, Teguh Suryaman, menilai penerapan PP Nomor 26 Tahun 2025 berpotensi menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha. Ia menyoroti komponen indeks alfa dalam formula perhitungan UMK yang dinilai terlalu tinggi.
“Dalam pembahasan awal, alfa seharusnya berada di kisaran 0,1 hingga 0,3 persen. Namun yang ditetapkan justru 0,5 hingga 0,9 persen. Ini jelas berdampak pada besaran UMK,” katanya.
Teguh menilai, kondisi tersebut berisiko bagi iklim investasi di Kota Tasikmalaya, terlebih daerah ini sudah tercatat sebagai pemilik UMK tertinggi di wilayah Priangan Timur. Ia khawatir, tingginya UMK akan membuat investor berpikir ulang untuk menanamkan modal.
“Daya saing Tasikmalaya bisa melemah jika dibandingkan dengan daerah sekitar seperti Garut dan Ciamis, apalagi selisih upahnya cukup jauh,” ujarnya.
Menurut Teguh, dampak paling nyata dari UMK yang tinggi adalah beban operasional perusahaan yang semakin berat. Ia mencontohkan, pada tahun 2025 dengan kenaikan UMK sebesar 6,5 persen, masih banyak perusahaan yang belum mampu memenuhi ketentuan tersebut.
“Kalau perusahaan tidak mampu membayar UMK, ada sanksi. Ujungnya bisa PHK. Ini yang sering memicu konflik dengan serikat pekerja karena serikat menolak PHK,” pungkasnya.
Sidang pleno Dewan Pengupahan Kota Tasikmalaya dijadwalkan menjadi penentu akhir besaran UMK 2026, yang diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan buruh sekaligus menjaga keberlangsungan dunia usaha. (yna)

















