HINDIA BELANDA | Priangan.com – Kemerdekaan Indonesia yang diraih pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi titik balik bagi warga Belanda yang sudah menetap selama puluhan tahun di Hindia Belanda. Kala itu, mereka harus dihadapkan pada dua pilihan yang sulit; ikut program repatriasi atau menetap di Hindia Belanda.
Dua pilihan tersebut dipandang sulit karena keduanya memiliki dampak yang cukup berarti bagi orang-orang Belanda di masa itu. Jika memilih untuk ikut program repatriasi, maka konsekuensinya adalah suasana negeri Belanda yang cukup asing terutama bagi orang-orang yang lahir dan tumbuh besar di Hindia Belanda. Sementara jika memutuskan untuk menetap, mereka akan dipandang sebagai bagian dari sejarah kolonial yang telah usang.
Program repatriasi itu tercatat mulai dilakukan sejak 1946 hingga 1958. Sedikitnya ada sekitar 300.000 warga Belanda dari berbagai latar belakang yang hendak dipulangkan. Kebanyakan dari mereka, merupakan bangsa Belanda yang lahir dan tumbuh di Indonesia, sehingga mereka sudah sangat akrab dengan budaya dan bahasa tanah air.
Pada tahun 1957, ketegangan politik antara Indonesia dan Belanda memuncak seiring kegagalan negosiasi atas status Irian Barat. Hal ini diperparah dengan sejumlah kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia, termasuk penutupan surat kabar berbahasa Belanda, pelarangan maskapai Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) beroperasi, hingga larangan masuk bagi warga Belanda.
Bahkan, perayaan Sinterklas pada 5 Desember, yang selama ini menjadi bagian dari budaya Belanda di Indonesia, mulai dilarang di bawah kebijakan “Sinterklas Hitam” sebagai simbol perlawanan terhadap pengaruh Barat.
Kebijakan ini memaksa banyak orang Belanda untuk segera meninggalkan tanah yang sudah lama mereka anggap sebagai rumah. Di tengah perasaan cemas dan trauma, pemulangan terakhir kelompok mereka dari Indonesia terjadi pada 6 September 1958. Hal ini menandai akhir dari sejarah panjang kolonialisme di Nusantara, sekaligus awal diaspora Indo di Belanda.
Sejak saat itu, para repatrian harus berjuang keras untuk membangun kembali kehidupan mereka di negara yang terasa asing dan penuh dengan tantangan. Pasalnya, kehidupan baru di Belanda bukanlah hal mudah bagi para repatrian, terutama mereka yang terbiasa dengan iklim, budaya, dan gaya hidup di Hindia Belanda.
Banyak dari mereka yang menghadapi perasaan keterasingan, terjebak di antara dua identitas yang tidak sepenuhnya diakui, baik di Belanda maupun Indonesia. Para keturunan Indo, yang berdarah campuran dan berakar di budaya Indonesia, kerap merasa asing di tanah Belanda, meski status mereka secara hukum adalah warga negara Belanda.
Di sisi lain, masyarakat Belanda pun memandang mereka sebagai stereotip. Tak jarang, anak-anak keturunan Belanda Indo kerap dicap sebagai anak kolonial, sebuah istilah yang sering kali dipandang sebagai konotasi negatif.
Situasi ini diperburuk oleh ekonomi Belanda pasca-Perang Dunia II yang masih belum pulih sepenuhnya, sehingga banyak dari mereka harus bekerja di sektor-sektor yang kurang diinginkan atau bahkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja mereka di Indonesia. (ersuwa)