TASIKMALAYA | Priangan.com – Pernikahan mewah anak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Bukan sekadar karena skala perayaan yang besar, melainkan juga karena tragedi yang mengiringinya: tiga nyawa melayang dalam kerumunan ribuan warga yang berebut makan gratis di Pendopo Garut, Jumat (18/7/2025).
Pesta yang diklaim mengusung konsep “pesta rakyat” itu justru membuka tabir lain yang jauh lebih pahit: betapa dalamnya jurang kemiskinan yang masih dialami sebagian masyarakat Jawa Barat, khususnya di Garut.
Akademisi Universitas Cipasung, Rico Ibrahim, menyebut peristiwa ini sebagai “cermin buram kemiskinan” di tengah kemewahan seremonial keluarga pejabat.
“Antusiasme luar biasa warga untuk sekadar makan gratis sudah menjadi tanda serius. Ini bukan sekadar soal makanan, tapi soal bagaimana sistem ekonomi belum menyentuh akar persoalan masyarakat,” kata Rico kepada Priangan.com, Minggu (20/7/2025).
Rico menilai, Gubernur Dedi Mulyadi semestinya menjadikan momentum ini sebagai titik refleksi, bukan sekadar ajang pesta keluarga. “Acara pribadi pejabat publik tidak bisa lagi dipisahkan dari tanggung jawab sosial. Ketika rakyat masih antre demi sepiring nasi, pesta mewah adalah ironi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rico mengkritisi pendekatan pemerintah selama ini dalam menangani kemiskinan yang cenderung instan dan temporer. “Kita ini terlalu terbiasa dengan solusi mie instan—cepat kenyang tapi tidak menyehatkan. Bantuan langsung tunai, bansos musiman, itu hanya menambal luka. Tidak menyembuhkan,” ungkapnya.
Menurutnya, akar kemiskinan di Jawa Barat bukan hanya soal kekurangan pendapatan, tetapi juga cara berpikir masyarakat yang dibentuk oleh sistem jangka pendek. “Gaya hidup konsumtif, keinginan instan seperti pinjaman online, tidak ada budaya menabung, ini jadi lingkaran setan. Kalau hanya dikasih uang terus tanpa membangun sistem berpikir mandiri, ya kemiskinan terus-menerus diwariskan,” ujar Rico.
Ia pun mengingatkan, jabatan gubernur bukan sekadar simbol administratif, melainkan peran moral yang terus melekat. “Bapak Aing (Dedi Mulyadi) harus sadar bahwa pesta pribadi pun kini menjadi bagian dari citra publik. Ketika rakyat masih miskin, pesta mewah adalah pesan yang salah,” tandasnya.
Bagi Rico, tragedi Garut adalah pengingat keras bahwa pembangunan di Jawa Barat belum menjangkau sisi paling dasar: ketahanan ekonomi rumah tangga rakyat kecil. “Bukan hanya soal isi kantong yang kosong, tapi isi kepala yang belum diisi dengan kesadaran mandiri. Di situlah pekerjaan rumah terbesar seorang gubernur,” pungkasnya. (yna)