Tragedi Jam Gadang 1958: Luka Berdarah di Tengah Konflik PRRI dan Pemerintah Pusat

JAKARTA | Priangan.com – Ada banyak peristiwa kelam dalam perjalanan sejarah Indonesia yang meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat. Salah satunya terjadi di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tahun 1958. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Jam Gadang itu meletus di tengah pergolakan politik antara pemerintah pusat dan kelompok pemberontak yang menamakan diri Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Ketegangan bermula ketika sejumlah tokoh militer dan sipil di Sumatera menilai pemerintah pusat di bawah Presiden Soekarno tidak adil dalam pembagian pembangunan dan kekuasaan daerah. Mereka kemudian memproklamasikan PRRI pada 15 Februari 1958 di Padang sebagai bentuk perlawanan terhadap Jakarta. Bukittinggi, yang kala itu merupakan salah satu kota penting di Sumatera Barat, menjadi salah satu pusat kegiatan PRRI.

Sebagai respons, pemerintah pusat mengirim pasukan militer untuk menumpas gerakan tersebut. Operasi penumpasan berlangsung keras dan memakan korban. Pada Maret 1958, pasukan pemerintah memasuki Bukittinggi dan menguasai kota. Dalam situasi yang penuh ketegangan, aparat melakukan penangkapan besar-besaran terhadap warga yang dicurigai terlibat atau mendukung PRRI. Banyak dari mereka yang sebenarnya tidak tahu menahu soal pemberontakan ikut terseret.

Tragedi berdarah itu mencapai puncaknya di sekitar menara Jam Gadang. Ratusan orang ditahan dan sebagian besar kemudian dieksekusi di tempat tanpa proses hukum yang jelas. Berdasarkan berbagai catatan sejarah, sekitar 187 orang tewas dalam peristiwa tersebut. Dari jumlah itu, hanya 17 orang yang benar-benar teridentifikasi sebagai anggota PRRI, sementara sisanya adalah warga sipil tak bersalah yang menjadi korban situasi politik yang tidak terkendali.

Jenazah para korban diletakkan di sekitar kawasan Jam Gadang sebagai bentuk peringatan sekaligus ancaman bagi masyarakat lain agar tidak melawan kekuasaan. Bukittinggi yang biasanya ramai mendadak berubah menjadi kota sunyi. Suasana mencekam menyelimuti kota yang menjadi saksi bisu salah satu tragedi kemanusiaan di masa awal Republik Indonesia. (wrd)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos