AMBON | Priangan.com – Di sudut timur Pulau Ambon, terdapat sebuah desa pesisir yang setiap tahunnya menyulap Hari Raya Iduladha menjadi lebih dari sekadar momen religius. Negeri Tulehu namanya. Perayaan kurban di sini tak hanya ditandai dengan lantunan takbir dan prosesi penyembelihan, tetapi juga dengan arak-arakan kambing yang digendong dengan kain, taburan bunga harum dari atap masjid, hingga lautan manusia yang saling berebut sehelai panji kehormatan. Semua itu menyatu dalam sebuah tradisi turun-temurun bernama Kaul dan Abda’u.
Kedua tradisi ini telah diwariskan turun-temurun sejak abad ke-17 dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Jazirah Leihitu.
Akar tradisinya dapat ditelusuri hingga masa awal masuknya Islam ke Tanah Hitu, kawasan perdagangan rempah di pesisir Maluku pada akhir abad ke-15. Kerajaan Islam Tanah Hitu yang berdiri sekitar tahun 1470 meletakkan dasar-dasar syiar keagamaan yang hidup dalam berbagai bentuk upacara keislaman, termasuk Kaul dan Abda’u yang bertahan hingga kini.
Tradisi ini tumbuh di tengah dinamika peradaban dan pengaruh global, dari kedatangan ulama dari Timur Tengah, interaksi antarpulau dalam jalur dagang, hingga persentuhan dengan budaya lokal yang memperkaya ekspresi keislaman masyarakat pesisir Maluku. Tulehu dan kawasan sekitarnya menjadi simpul penting dalam jaringan dakwah dan budaya yang menjangkau jauh ke luar pulau.
Ritus Kaul dimulai setelah salat Iduladha di pagi hari. Tiga ekor kambing, satu sebagai inti dan dua pendamping, diarak mengelilingi Negeri Tulehu. Hewan-hewan ini digendong dengan kain oleh para pemuka adat dan agama, sambil diiringi shalawat dan takbir. Prosesi ini membawa mereka menuju pelataran Masjid Negeri Tulehu, tempat penyembelihan dilakukan oleh imam besar.
Dari atap masjid, ibu-ibu menaburkan bunga harum, sementara para pemuda adat memperebutkan semburan darah kurban sebagai simbol keberanian dan kesiapan berkorban demi kebaikan dan keselamatan negeri.
Menjelang siang, pusat perhatian berpindah ke halaman rumah imam. Di sinilah ritus Abda’u dimulai. Ratusan pemuda berkaus singlet dan berikat kepala putih berkumpul, terlebih dahulu disiram air khasiat yang dipercaya memberi kekuatan dan melindungi dari rasa sakit. Imam kemudian menyerahkan panji kehormatan, yaitu sehelai bendera hijau bertuliskan kalimat tauhid dengan renda kuning emas, diikatkan pada tongkat bambu sepanjang dua meter.
Simbolisme warnanya mendalam, hijau untuk kesuburan, kuning untuk kemakmuran. Namun untuk memilikinya, para pemuda harus memperebutkannya dalam kerumunan penuh semangat. Mereka saling dorong, saling injak, bahkan memanjat atap rumah agar bisa melompat ke tengah massa. Perebutan panji berlangsung sepanjang rute keliling negeri, hingga kembali ke masjid sebagai penutup.
Abda’u diyakini merefleksikan semangat para pemuda Anshar yang menyambut hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah dengan sukacita dan ketulusan. Dari sudut pandang lokal, kata “Abda’u” berasal dari “abada” yang berarti ibadah atau ungkapan pengabdian total kepada Sang Pencipta.
Nilai-nilai yang tertanam dalam dua tradisi ini tak hanya mencerminkan semangat religius, tapi juga memperkuat solidaritas sosial. Kaul Negeri mempertegas pentingnya musyawarah dan gotong royong dalam pembagian kurban, sementara Abda’u menjadi ruang pembentukan karakter pemuda, yaitu keberanian, semangat juang, dan sportivitas.
Kini, keduanya menjadi daya tarik budaya dan spiritual sekaligus, menarik ribuan pengunjung setiap Iduladha. Selain memperkuat identitas masyarakat Tulehu, perayaan ini juga menghidupkan ekonomi lokal dan menjadi sarana edukasi kebudayaan bagi generasi muda.
Berabad-abad telah berlalu, namun gema Kaul Negeri dan Abda’u tetap lantang di tanah Tulehu. Ini bukan sekadar tradisi, melainkan napas sejarah, pengingat akar spiritual, dan perayaan akan keberlanjutan nilai-nilai luhur yang tetap hidup di tengah arus zaman. Di tengah modernitas yang serba cepat, tradisi ini menjadi jangkar bagi identitas kolektif. (LSA)