KUNINGAN | Priangan.com – Kabupaten Kuningan punya satu tradisi yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyaarakatnya. Tradisi itu adalah upacara adat Babarit. Tradisi ini sudah diwariskan secara turun-temurun dan hingga kini masih terus dilestarikan di berbagai desa. Bagi mereka, upacara ini adalah salah satu cara untuk menghormati para leluhur sekaligus ungkapan rasa syukut atas rezeki, kesehatan, dan keselamatan.

Nama Babarit sendiri menyimpan makna filosofis yang mendalam. Dalam bahasa Sunda, kata ini dimaknai sebagai “Ngababarkeun Ririwit” atau menghilangkan kesusahan. Ada pula versi lain yang menafsirkan Babarit sebagai “Ngabubarkan Weweri” yang berarti mengusir penyakit maupun gangguan. Mereka meyakini, lewat upacara ini mereka akan senantiasa terhindar dari marabahaya.

Pelaksanaan Babarit berbeda-beda di tiap desa. Ada yang menggelarnya pada bulan Dzulqa’sudah, Muharam, bahkan Rabiul Awal. Ada pula yang menyesuaikan gelaran acara ini dengan hari jadi desa. Walau demikian, tujuan pelaksanaannya tetap sama.

Prosesi Babarit sendiri biasanya dimulai dengan doa bersama. Para warga kemudian membawa hasil bumi sebagai bentuk sedekah. Selain itu, ada juga tumpeng yang dibuat sebagai simbol rasa syukur atas anugerah yang diterima. Bahkan, di beberapa tempat, dalam proses ini tak jarang dilakukan penyembelihan domba kendit serta melakukan ziarah ke makam tokoh leluhur.

Ada satu proses yang menarik dalam upacara adat ini, yaitu hadirnya seni Tayuban yang menampilkan alat musik tradisional seperti kendang, gong, bonang, saron dan gambang. Tarian serta musik ini ttak sekedar sebagai sarana hiburan, melainkan sebagai bentuk ekspresi kebersamaan yang menyatukan masyarakat.

Dalam pertunjukan Tayuban, sedikitnya ada tujuh lagu tradisional yang selalu dibawakan, masing-masing menyimpan pesan moral, mulai dari ajakan berbuat baik, menjaga ucapan, hingga menumbuhkan kasih sayang antar sesama. Hingga kini, tradisi ini masih tetap terjaga dan dipelihara oleh masyarakat Kuningan. (wrd)