JAKARTA | Priangan.com – Menggelitik kerap diasosiasikan dengan tawa dan kebersamaan yang menyenangkan, apalagi di antara saudara kandung atau teman sebaya. Namun di balik kesan riang itu, tersembunyi sejarah panjang yang jauh dari lucu. Tindakan yang tampaknya sepele ini ternyata pernah digunakan sebagai alat penyiksaan di berbagai kebudayaan dan periode sejarah.
Kemampuan menggelitik untuk memicu reaksi fisik yang tak terkendali menjadikannya metode yang efektif untuk melumpuhkan tanpa senjata. Dalam beberapa situasi, efeknya bahkan dianggap lebih menyakitkan dari hukuman fisik biasa karena campuran rasa geli dan kesakitan yang datang bersamaan.
Sebagaimana dilansir dari National Geographic, sejak zaman kuno, kekuatan penguasa telah mengeksploitasi sifat ini. Di Tiongkok masa Dinasti Han, penyiksaan dengan gelitikan digunakan sebagai alat interogasi. Karena tidak meninggalkan luka permanen, metode ini dianggap “aman”, meskipun dampaknya bisa sangat menyiksa.
Kekaisaran Romawi mengambil pendekatan yang lebih ekstrem. Salah satu bentuk hukumannya melibatkan seekor kambing dan air garam. Kaki korban diikat dan dibasahi air garam, lalu kambing dibiarkan menjilatinya. Lidah kasar hewan itu, berpadu dengan sensasi garam yang menyengat, menciptakan pengalaman menyakitkan yang terus menerus dan tak dapat dihindari.
Metode serupa juga muncul dalam praktik shikei di Jepang, di mana gelitik digunakan sebagai bagian dari sistem hukuman pribadi yang sadis, dikenal sebagai kusuguri-zeme atau “gelitik tanpa ampun”.
Daya tarik gelitik sebagai alat dominasi juga menarik perhatian para filsuf. René Descartes pernah menyatakan bahwa menggelitik menimbulkan kenikmatan sekaligus ketegangan saraf yang menyerupai rasa sakit. Menurutnya, respons tubuh terhadap gelitik tak bisa dikendalikan karena sistem saraf terangsang secara berlebihan. Filsuf dan ilmuwan lain tertarik pada fakta bahwa tubuh manusia bisa menangis sambil tertawa dalam kondisi seperti ini, sebuah bentuk paradoks antara kenikmatan dan penderitaan.
Tidak hanya negara dan filsuf, masyarakat biasa pun pernah menjadikan gelitik sebagai alat kekerasan domestik. Pada era Victoria di Inggris, sejumlah kisah menunjukkan bagaimana penyiksaan ini digunakan dalam hubungan rumah tangga. Salah satunya terjadi pada tahun 1869 ketika seorang pria bernama Michael Puckridge dilaporkan mengikat istrinya dan menggelitik kakinya sebagai pengobatan varises. Hasilnya bukan kesembuhan, melainkan trauma yang mendalam.
Praktik ini berlanjut hingga abad ke-20. Selama Perang Dunia II, Nazi dilaporkan menggunakan gelitik untuk mempermalukan dan menyiksa tahanan. Josef Kohout, seorang penyintas kamp konsentrasi yang kemudian menulis memoarnya The Men with the Pink Triangle, menggambarkan bagaimana para serdadu SS menggunakan bulu angsa untuk menyiksa korban di bagian tubuh paling sensitif. Korban awalnya tertawa, namun seiring waktu tawa itu berubah menjadi jeritan, air mata, dan keputusasaan.
Di zaman modern, gelitik masih muncul dalam bentuk yang tidak kalah menyakitkan, meski sering diabaikan. Penelitian oleh Vernon Wiehe dalam Sibling Abuse: Hidden Physical, Emotional, and Sexual Trauma menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang pernah mengalami penyiksaan gelitik semasa kecil menunjukkan reaksi fisik ekstrem dari muntah, sesak napas, hingga kehilangan kendali buang air kecil. Ini menunjukkan bahwa tindakan yang dikira main-main bisa menjadi bentuk kekerasan tersembunyi yang membawa dampak jangka panjang.
Sejarah mengajarkan bahwa menggelitik tidak selalu bersifat lucu atau menyenangkan. Di tangan yang salah, ia bisa menjadi instrumen kekuasaan, alat kekerasan, bahkan senjata psikologis. Dan meskipun tidak meninggalkan bekas di kulit, luka yang ditinggalkannya bisa jauh lebih dalam. (LSA)