Tenggelam demi Kehormatan: Kisah Armada Jerman di Scapa Flow

KIRKWALL | Priangan.com – Di utara Skotlandia, tersembunyi perairan sunyi bernama Scapa Flow, tempat puluhan kapal perang Jerman berlabuh pasca-Perang Dunia I, bukan sebagai pemenang, tapi juga belum benar-benar kalah. Di sanalah, tanpa pertempuran, tanpa ledakan, sejarah mencatat penenggelaman armada terbesar yang pernah terjadi. Bukan karena diserang, melainkan karena keputusan yang lahir dari keputusasaan dan harga diri.

Pada 11 November 1918, kekalahan Jerman tak banyak memberi ruang untuk negosiasi. Gencatan senjata yang disepakati penuh dengan persyaratan sepihak dari Sekutu. Salah satu tuntutan utama adalah pelucutan total kekuatan militer Jerman.

Kapal selam mereka segera diserahkan, tetapi kapal permukaan, terutama kapal perang besar dan kapal perusak masih menimbulkan perdebatan. Inggris tidak ingin kapal-kapal itu dibagi ke negara lain, karena khawatir keseimbangan kekuatan laut akan berubah dan merugikan armadanya sendiri. Sebagai jalan tengah sementara, disepakati bahwa kapal-kapal tersebut akan “ditahan” di pangkalan Angkatan Laut Kerajaan Inggris di Scapa Flow, Skotlandia, sambil menunggu keputusan akhir dalam perjanjian damai yang masih belum kunjung ditandatangani.

Pada 21 November 1918, sebanyak 70 kapal perang Jerman menyeberangi perairan menuju Skotlandia. Mereka dikawal dengan ketat oleh Sekutu dan diperintahkan untuk berlabuh di Scapa Flow.

Beberapa hari kemudian, Laksamana David Beatty memerintahkan agar seluruh kapal Jerman menurunkan bendera mereka dan tidak boleh mengibarkannya lagi tanpa izin dari pihak Inggris. Padahal, secara hukum, kapal-kapal tersebut masih merupakan milik sah Kekaisaran Jerman. Perintah itu dianggap oleh banyak pihak sebagai penghinaan yang disengaja terhadap simbol negara yang sedang bertekuk lutut.

Waktu terus bergulir dan nasib armada Jerman pun seperti dibekukan. Selama tujuh bulan, ribuan pelaut Jerman menjalani kehidupan yang hampir tak berbeda dari tahanan. Mereka tidak diperbolehkan turun ke darat, tidak bisa mengunjungi kapal lain, dan hanya menerima pasokan makanan dua kali sebulan dari Jerman yang monoton dan serba kekurangan.

Lihat Juga :  Relokasi Paksa Inuit di Tanah Beku, Pemerintah Kanada Hanya Beri Janji Palsu

Untuk menyambung hidup, mereka menangkap ikan dan burung camar dari geladak kapal. Tanpa hiburan, tanpa aktivitas yang berarti, dan dalam kondisi hidup yang memburuk, para awak kehilangan semangat. Beberapa dipulangkan, tetapi sekitar lima ribu orang tetap tinggal sebagai penjaga kapal sembari menunggu keputusan yang tak pernah datang.

Sementara itu, perpecahan dalam tubuh Sekutu terus berkembang. Prancis dan Italia mengincar pembagian kapal sebagai rampasan perang. Inggris, sebaliknya, menolak keras. Mereka khawatir, jika kapal-kapal itu dibagi, maka keseimbangan kekuatan laut akan berpindah, dan dominasi Royal Navy akan melemah. Di tengah ketidakpastian itu, muncul kecemasan Jerman sendiri akan menenggelamkan kapal-kapal tersebut untuk mencegah penyerahan.

Laksamana Muda Ludwig von Reuter, yang memimpin armada tersebut, diam-diam telah memikirkan opsi itu sejak Januari 1919. Baginya, jika armada harus diserahkan begitu saja kepada musuh, itu adalah kehinaan yang tidak dapat diterima.

Namun ia juga menyatakan bahwa kapal-kapal itu hanya akan ditenggelamkan jika Sekutu berusaha menyitanya tanpa persetujuan pemerintah Jerman. Saat Reuter mendapat informasi bahwa Inggris sedang bersiap mengambil alih kapal-kapal itu secara sepihak, ia menganggap saatnya telah tiba.

Lihat Juga :  Operation Tat-Type: Kisah Nyata Tato Golongan Darah di Era Perang Dingin

Pada pagi hari 21 Juni 1919, cuaca mendukung, dan sebagian besar kapal Inggris keluar dari Scapa Flow untuk latihan laut. Ini adalah kesempatan emas. Sekitar pukul 10 pagi, Reuter mengeluarkan perintah rahasia untuk bersiap-siap. Sinyal bendera dikibarkan, pesan dikirim menggunakan lampu sorot dan semaphore.

Dalam waktu singkat, seluruh armada mulai bertindak. Di ruang mesin dan dek bawah, para pelaut membuka keran air, menghancurkan pipa, dan membanjiri ruang kapal dari sisi tertentu agar kapal cepat miring dan tenggelam.

Pukul 11 lewat 20 menit, bendera Jerman kembali dikibarkan di tiang-tiang kapal, bukan sebagai provokasi, melainkan sebagai simbol bahwa mereka memilih tenggelam dengan kehormatan.

Inggris baru sadar setelah semuanya terlambat. Wakil Laksamana Sir Sydney Fremantle, buru-buru kembali dari latihan, hanya bisa menyaksikan sebagian kecil dari kapal-kapal yang masih mengapung. Sebanyak 51 kapal tenggelam dalam satu hari, menjadikannya penenggelaman armada terbesar dalam sejarah modern yang sengaja dilakukan oleh tangan mereka sendiri.

Lihat Juga :  Bukan Sekadar Tempat Peristirahatan: Rahasia Mengejutkan dari Pemakaman Colon

Sebagai tanggapan, Fremantle memerintahkan penangkapan Reuter dan sekitar 1.800 awak lainnya. Ia menuduh mereka melanggar ketentuan gencatan senjata. Namun secara pribadi, Fremantle justru mengagumi keputusan Reuter. Ia pernah mengatakan, “Saya tidak dapat menahan rasa simpati terhadap von Reuter, yang telah menjaga martabatnya ketika ditempatkan dalam posisi yang sangat menyakitkan.” Sayangnya, aksi itu tidak berjalan sepenuhnya damai. Dalam kekacauan di pelabuhan, sembilan pelaut Jerman tewas ditembak, dan enam belas lainnya terluka.

Pada dekade-dekade berikutnya, bangkai kapal-kapal itu menjadi ladang logam bawah laut. Operasi penyelamatan dimulai pada awal 1920-an dan berlanjut hingga menjelang Perang Dunia II. Sebagian besar kapal berhasil diangkat dan dibongkar.

Namun siapa sangka, di era nuklir, bangkai-bangkai tua itu kembali jadi incaran karena logamnya bebas dari radiasi buatan manusia. Baja dari kapal-kapal yang tenggelam sebelum 1945 sangat berharga untuk membuat peralatan sensitif seperti detektor radiasi, karena tidak terkontaminasi oleh pengujian bom atom di atmosfer. Logam “pra-bom” ini dikenal sebagai low-background steel dan sempat jadi incaran pada dekade 1970-an.

Sejak diberlakukannya Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir Sebagian pada 1963, tingkat radiasi di atmosfer mulai menurun. Artinya, kebutuhan akan baja rendah radiasi kini bisa dipenuhi tanpa harus menjarah bangkai kapal bersejarah.

Saat ini, hanya segelintir kapal yang tersisa di dasar Scapa Flow. Pada tahun 2001, situs ini resmi diakui sebagai monumen bersejarah yang dilindungi. Ini tidak hanya menjadi kuburan bagi kapal-kapal baja, tetapi juga simbol dari harga diri, pengkhianatan, dan pilihan yang tak pernah mudah dalam sejarah panjang peperangan manusia. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos