JAKARTA | Priangan.com – Beginilah potret telepon umum. Ia dulu menjadi alat komunikasi yang digandrungi dan menjadi satu-satunya alat komunikasi andalan karena biayanya yang murah. Alat ini mendekatkan yang jauh dan menjadi sarana pelepas rindu bagi kekasih yang menjalin hubungan jarak jauh.
Sejak diperkenalkan di Indonesia pada masa kolonial, telepon umum telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Awalnya hanya tersedia di kantor-kantor pos besar, kemudian keberadaannya semakin luas ketika pemerintah mulai memasangnya di berbagai tempat. Telepon umum berbasis koin mulai dikenal luas pada tahun 1970-an. Hal ini memberikan kemudahan bagi mereka yang tidak memiliki telepon pribadi.
Memasuki era 1980-an hingga 1990-an, telepon umum mencapai puncak kejayaannya. Ribuan unit kala itu dipasang di berbagai sudut kota. Di tempat-tempat ramai seperti stasiun, terminal, dan pusat perbelanjaan, antrean panjang di depan bilik telepon menjadi pemandangan yang biasa.
Banyak kisah yang lahir di bilik telepon, dari percakapan bisnis hingga curahan hati antara dua insan yang terpisah jarak. Saat ponsel belum menjadi barang yang mudah dimiliki, telepon umum menjadi penyelamat dalam keadaan darurat maupun saat seseorang ingin mendengar suara orang terkasih.
Namun, memasuki awal 2000-an, perkembangan teknologi mengubah segalanya. Keberadaan ponsel yang mulai merambah ke berbagai lapisan masyarakat dengan menawarkan kemudahan tanpa harus bergantung pada lokasi tertentu, hingga soal tarif telepon seluler yang semakin terjangkau membuat keberadaan telepon umum perlahan tergeser. Lambat laun, bilik-bilik telepon mulai sepi, banyak yang terbengkalai atau dirusak.
Hingga akhirnya, pada tahun 2017, layanan telepon umum resmi dihentikan. Alat yang dahulu begitu berjaya kini hanya tinggal kenangan. Meski telah menghilang, perannya dalam sejarah telekomunikasi Indonesia tetap tak terlupakan. Kini, bilik-bilik telepon yang masih tersisa menjadi saksi bisu berbagai cerita dari mereka yang pernah menggunakannya. (Ersuwa)