HOBART | Priangan.com – Di pesisir barat laut Tasmania, pada awal abad ke-19, lahir seorang perempuan yang kelak menjadi simbol perlawanan sebuah bangsa yang hampir dilenyapkan oleh kolonialisme. Namanya Tarenorerer, sebuah nama yang kini asing bagi banyak orang dan sengaja dihapus dari ingatan oleh sebagian lainnya.
Tarenorerer bukan sekadar pejuang. Ia adalah perwujudan keberanian yang tumbuh dari penderitaan. Seorang pemimpin yang mengangkat senjata demi membela tanah kelahiran, ketika penjajahan mencabik-cabik kehidupan bangsanya.
Sayangnya, seperti banyak tokoh perempuan pribumi lainnya, namanya dikaburkan sejarah dan diganti dengan ‘Walyer’, sebutan dari para pemburu budak kulit putih. Asal-usul nama ini masih misterius. Bisa jadi karena lebih mudah diucapkan, atau mungkin memang sengaja digunakan untuk melucuti identitas aslinya.
Tarenorerer diyakini lahir sekitar tahun 1800 di Table Cape, wilayah strategis di barat laut Tasmania. Ia berasal dari klan Tommeginne, bagian dari konfederasi bangsa North West yang hidup berpindah mengikuti musim dan menggantungkan hidup pada laut serta daratan pesisir. Mereka memanfaatkan sumber daya alam seperti oker atau pigmen tanah liat suci untuk ritual dan pengobatan. Meski mempererat hubungan antarklan, sumber daya ini juga kerap menjadi pemicu persaingan.
Sayangnya, sebagian besar pengetahuan tentang kepercayaan dan praktik spiritual masyarakat Aborigin Tasmania hilang bersama waktu. Penjajah hanya mencatat apa yang mereka anggap penting dari sudut pandang mereka.
Tarenorerer tumbuh dalam masa penuh gejolak. Inggris mulai menjajah Botany Bay sejak 1788 dan memperluas wilayah ke Trowunna pada 1803. Dalam hitungan dekade, tanah yang dulu dihuni secara harmonis berubah menjadi ladang-ladang milik orang asing. Klan demi klan disingkirkan, banyak yang dibunuh, sehingga lebih banyak lagi yang terpaksa mengungsi.
Sekitar tahun 1825, Tarenorerer diculik oleh para pemburu anjing laut Eropa. Ia dijadikan budak dan mengalami kekejaman selama bertahun-tahun. Namun, pengalaman pahit ini memberinya dua bekal penting, ia belajar berbahasa Inggris dan mahir menggunakan senjata api. Kemampuan inilah yang kelak ia gunakan untuk melawan penjajah.
Sekitar tahun 1828, setelah berhasil kabur dari perbudakan, Tarenorerer kembali bukan sebagai korban, melainkan sebagai pemimpin. Ia bergabung dengan kelompok pengungsi dari berbagai klan di sekitar Teluk Emu. Di sana, ia melatih anggotanya menggunakan senjata api, merancang serangan terhadap penjajah, dan bahkan menghancurkan ternak mereka.
Tarenorerer adalah pemimpin yang cerdas dan karismatik. Ia tahu kapan saat tepat untuk menyerang, yakni setelah tembakan dilepaskan dan senjata musuh belum sempat diisi ulang. Ia berdiri di atas bukit, memberi komando, mengejek penggembala kulit putih agar keluar dari persembunyian dan menghadapi perlawanan.
Namun, perjuangannya juga menghadapi hambatan dari dalam. Persaingan antarklan dan keterbatasan sumber daya menciptakan ketegangan. Ia sempat melarikan diri ke Pelabuhan Sorell bersama empat saudaranya yang kemungkinan juga pernah diperbudak bersamanya.
Sementara itu, pemerintah kolonial mencoba cara lain. Letnan Gubernur George Arthur menunjuk George Augustus Robinson, seorang pendeta dan tukang bangunan, untuk berdamai dengan penduduk asli. Dipandu semangat anti-perbudakan dan keyakinan agama, Robinson menganggap misinya menyelamatkan masyarakat Aborigin sebagai tugas moral. Tapi saat ia memulai misinya, semuanya sudah terlambat.
Dari sekitar 6.000 hingga 10.000 penduduk Aborigin Tasmania pada 1803, hanya sekitar 1.000 orang yang tersisa. Perang Hitam tengah berkecamuk dan kekejaman penjajah mencapai titik puncak. Dalam catatannya, Robinson menyalahkan para penjajah atas kekerasan yang tak manusiawi. Namun, tindakannya sendiri justru menempatkan masyarakat Aborigin di pulau-pulau reservasi seperti Pulau Swan yang lebih mirip penjara terbuka.
Tarenorerer akhirnya tertangkap pada Desember 1830, setelah dikhianati dan diserahkan oleh pemburu anjing laut. Versi resmi penangkapannya ditulis oleh James Parish, juru mudi Robinson. Parish mengaku menyelamatkan para pemburu dari serangannya dan menangkapnya seorang diri, sebuah kisah yang penuh dengan keraguan, tetapi menjadi satu-satunya catatan yang tersisa.
Awalnya, identitas Tarenorerer tidak dikenali. Hanya berkat seekor anjing pelacak dan pengakuan perempuan Aborigin lainnya, Robinson menyadari bahwa ia adalah pemimpin perlawanan yang dicari-cari. Reaksinya penuh ketakutan, ia menyebut Tarenorerer sebagai pembunuh yang harus dihentikan. Ia kemudian diasingkan ke Pulau Gun Carriage yang kini bernama Pulau Vansittart, tempat para tawanan dikumpulkan.
Meski ditahan, semangat perlawanan Tarenorerer tak pernah padam. Ia menyebarkan kabar bahwa Robinson akan membantai seluruh penghuni Pulau Swan, menebar keresahan. Ia menyatakan kebenciannya kepada penjajah sama besar dengan kebenciannya pada ular berbisa. Karena dianggap menghasut, ia kembali diasingkan.
Tak lama kemudian, penyakit menyebar di pulau-pulau tersebut. Tarenorerer jatuh sakit dan meninggal pada akhir Mei atau awal Juni 1831. Kemungkinan besar ia tak dimakamkan sesuai adat Aborigin, seperti kremasi atau penguburan di pasir pantai. Robinson menganggap kematiannya sebagai akhir dari masalah besar, lupa bahwa yang dilawannya adalah penjajahan itu sendiri.
Kematian Tarenorerer menandai babak akhir Perang Hitam. Setelah kepergiannya, perlawanan mereda. Pada 1835, Robinson melaporkan bahwa seluruh penduduk Aborigin telah dipindahkan ke reservasi. Kekerasan memang berhenti, tapi luka sejarah tetap terbuka.
Sekitar 1.000 nyawa melayang dalam Perang Hitam, termasuk lebih dari 600 penduduk Aborigin. Hingga kini, belum ada tugu resmi yang mengenang Tarenorerer atau rakyat yang ia bela.
Baru pada 2023 muncul wacana membangun monumen untuknya. Sementara itu, warisan perjuangannya masih hidup dalam cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut dan upaya pelestarian budaya. Namun kisah Tarenorerer bukan hanya tentang penderitaan, tetapi juga tentang keberanian, harapan, dan semangat perlawanan yang tak mati. (LSA)