Tammany Hall, Tempat yang Tumbuh dari Korupsi dan Pengkhianatan

NEW YORK | Priangan.com – Kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan yang menyeret nama mantan menteri baru-baru ini kembali jadi sorotan. Skandal itu menambah catatan panjang bagaimana kekuasaan sering dipakai untuk memperkaya segelintir orang, sementara publik menanggung kerugian. Fenomena semacam ini sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah. Jauh sebelum Indonesia berdiri, kota New York pernah dikuasai sebuah organisasi politik yang menjadikan korupsi sebagai nafas utamanya. Organisasi itu dikenal dengan nama Tammany Hall.

Awalnya Tammany Hall lahir secara sederhana, bukan sebagai mesin politik. Pada Mei 1789, sebuah perkumpulan sosial bernama Serikat St. Tammany atau Ordo Kolombia berdiri di New York, dinamai dari seorang tokoh pribumi legendaris bernama Tammanend.

Dilansir dari Thoughtco, perkumpulan ini awalnya hanya menjadi wadah diskusi politik di negara baru pasca Revolusi Amerika. Mereka bahkan menggunakan gelar dan ritual yang meniru tradisi pribumi: pemimpinnya disebut “Grand Sachem”, sementara markasnya disebut “wigwam”.

Namun, tak butuh waktu lama hingga organisasi yang tampak polos itu berubah arah. Tammany mulai menjalin hubungan politik, salah satunya dengan Aaron Burr, dan sejak itu langkah menuju kekuasaan politik besar benar-benar dimulai.

Pada dekade-dekade awal abad ke-19, Tammany kerap berseteru dengan Gubernur New York DeWitt Clinton. Meski begitu, kekuatan mereka semakin menguat, terutama setelah mendukung Andrew Jackson dalam pencalonannya sebagai presiden pada 1828. Dukungan itu berbuah manis: saat Jackson menang, Tammany mendapat imbalan berupa jabatan federal di New York City, sebuah praktik yang kemudian dikenal dengan sistem rampasan (spoils system). Sejak saat itu, organisasi ini semakin identik dengan Partai Demokrat, kelas pekerja, dan imigran, terutama dari Irlandia.

Lihat Juga :  Relokasi Paksa Inuit di Tanah Beku, Pemerintah Kanada Hanya Beri Janji Palsu

Dalam masa ketika belum ada jaring pengaman sosial, Tammany tampil bak penyelamat, mereka menyediakan batu bara, makanan, bahkan bantuan hukum bagi para pendatang miskin. Sebagai gantinya, para imigran memberikan kesetiaan politik yang nyaris tak tergoyahkan.

Namun, di balik citra sebagai pelindung rakyat kecil, praktik curang menjadi denyut utama Tammany. Pada masa sebelum Perang Saudara, bar-bar di New York kerap berubah jadi arena politik dan perkelahian jalanan. Preman dibayar untuk memastikan suara jatuh ke tangan kandidat Tammany. Kotak suara diisi ulang, pemilih diduplikasi, dan kecurangan dilakukan terang-terangan. Korupsi pun merajalela.

Isaac Fowler, salah satu Grand Sachem, sempat hidup mewah jauh di atas gaji resminya sebagai kepala kantor pos. Ia ditangkap atas tuduhan penggelapan, tapi berhasil melarikan diri ke Meksiko sebelum akhirnya pulang setelah dakwaannya dibatalkan.

Puncak kejayaan sekaligus kejatuhan Tammany datang bersama seorang tokoh bernama William Marcy “Boss” Tweed. Lahir di Lower East Side Manhattan pada 1823, Tweed awalnya hanyalah anak tukang kursi yang kemudian terjun ke organisasi pemadam kebakaran. Dari sana ia masuk ke politik Tammany dan perlahan naik ke posisi tertinggi sebagai Grand Sachem. Pada awal 1870-an, Tweed dan kelompoknya yang dikenal sebagai “Tweed Ring” melakukan korupsi besar-besaran. Kontraktor diwajibkan membayar suap, proyek kota dimanipulasi, dan uang yang dikuras mencapai jutaan dolar, jumlah yang luar biasa besar pada zamannya.

Lihat Juga :  Marie Thomas, Dokter Wanita Pertama di Hindia Belanda

Tweed begitu berkuasa hingga berani bertindak terang-terangan, namun justru di situlah awal kehancurannya. Kartunis politik Thomas Nast di Harper’s Weekly gencar menyerangnya lewat ilustrasi satir, sementara The New York Times mempublikasikan dokumen keuangan yang membongkar kebobrokan The Ring. Tweed akhirnya ditangkap, diadili, dan menghabiskan sisa hidupnya di penjara. Ia meninggal dalam keadaan terhina, tetapi Tammany Hall tidak serta-merta runtuh. Organisasi itu tetap bertahan dengan pemimpin baru.

Lihat Juga :  Catherine the Great, Putri Jerman yang Jadi Ratu Revolusioner Rusia Pada Masanya

Pada akhir abad ke-19, sosok Richard “Boss” Croker menggantikan peran Tweed sebagai pengendali politik. Ia pernah terseret kasus pembunuhan pada hari pemilu tahun 1874, namun dibebaskan setelah pengadilan bergulir. Dari seorang pekerja lapangan Tammany, Croker naik menjadi Grand Sachem dan memegang kendali pemerintahan New York tanpa harus menduduki jabatan resmi. Kekuasaan besar itu membuatnya kaya raya.

Namun, berbeda dengan Tweed, Croker memilih mundur sebelum jatuh, lalu pulang ke Irlandia untuk menikmati masa tua sebagai tuan tanah dan pemilik kuda pacu.

Warisan Tammany Hall membentang panjang hingga abad ke-20. Pada puncaknya, organisasi ini menjadi simbol mesin politik Amerika, yang mampu menggerakkan rakyat, menguasai suara pemilu, sekaligus memperkaya elitnya. Pengaruhnya mulai meredup pada 1930-an dan baru benar-benar bubar pada 1960-an. Meski demikian, jejaknya tetap melekat sebagai pengingat betapa rapuhnya demokrasi ketika kekuasaan tidak dikawal transparansi.

Sejarah Tammany Hall menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya penyakit kontemporer. Dari wigwam di New York abad ke-19 hingga ruang rapat pemerintahan masa kini, pola yang sama terus berulang: janji membela rakyat, tapi berujung pada pengkhianatan. Dan mungkin inilah pelajaran terbesar yang bisa kita tarik, bahwa tanpa kesadaran kolektif untuk membangun sistem yang bersih, korupsi akan selalu menemukan tempat untuk tumbuh, di mana pun dan kapan pun. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos