JAKARTA | Priangan.com – Batavia pada abad ke-18 merupakan kota pelabuhan yang ramai dan penting bagi perdagangan di Asia Tenggara. Di bawah kendali Kompeni Belanda, atau Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), Batavia berkembang pesat sebagai pusat ekonomi yang menghubungkan berbagai wilayah di Nusantara dengan pasar dunia.
Dalam keramaian tersebut, komunitas Tionghoa muncul sebagai kelompok yang cukup menonjol. Mereka datang membawa keahlian berdagang dan kemampuan beradaptasi yang tinggi, sehingga mampu berbaur dan bekerja sama dengan warga pribumi Betawi. Selain dikenal ramah dan sopan, mereka juga mematuhi peraturan kolonial, menjadikan mereka kontributor penting dalam aktivitas perdagangan lokal.
Namun, keberhasilan komunitas Tionghoa ini justru memicu kecemburuan dan ketakutan di kalangan penguasa Belanda. VOC merasa posisinya mulai terancam karena orang-orang Tionghoa menguasai banyak sektor perdagangan yang selama ini didominasi oleh Belanda.
Kekhawatiran ini kemudian berkembang menjadi permusuhan terbuka. Di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, VOC mulai mengambil tindakan represif untuk menekan dan mengendalikan komunitas Tionghoa yang dianggap mengganggu kekuasaan mereka.
Ketegangan semakin memuncak ketika pada akhir tahun 1739 terjadi penangkapan besar-besaran terhadap warga Tionghoa, tidak hanya di Batavia tetapi juga di wilayah sekitar seperti Bekasi dan Tanjung Priok. Sekitar seratus orang ditangkap tanpa proses hukum yang jelas, menimbulkan ketakutan dan kemarahan di kalangan masyarakat Tionghoa. Perlawanan pun mulai muncul, meski dalam bentuk terbatas, sebagai respons atas tindakan represif tersebut.
Menanggapi perlawanan yang ada, VOC semakin memperketat pengawasan dan melakukan penangkapan secara terus-menerus terhadap warga Tionghoa yang dianggap mencurigakan.
Pada 26 Juli 1740, parlemen VOC mengeluarkan resolusi yang memberikan wewenang penuh untuk menangkap dan menindak warga Tionghoa tanpa batasan. Kebijakan ini membuka jalan bagi tragedi yang lebih besar.
Pada bulan Oktober 1740, bentrokan antara warga Tionghoa dan tentara VOC pecah di Batavia. Bentrokan ini berubah menjadi pembantaian massal yang berlangsung selama beberapa hari. Tentara Belanda menyerang tanpa pandang bulu, menembak dan menikam warga Tionghoa yang berada di rumah, kedai, maupun tempat persembunyian. Ribuan orang tewas dalam kekerasan brutal ini.
Selain pembunuhan massal, ribuan rumah dan bangunan milik warga Tionghoa dibakar habis. Barang-barang berharga dijarah, dan api berkobar selama hampir tiga hari, menghanguskan permukiman mereka.
Diperkirakan lebih dari 10.000 orang Tionghoa menjadi korban jiwa dalam peristiwa ini. Mayat-mayat bergelimpangan di jalanan, kanal, dan kali hingga air Kali Angke berubah warna menjadi merah oleh darah para korban. Nama “Angke” sendiri dipercaya berasal dari bahasa Hokkian, yakni “ang” yang berarti merah dan “ke” yang berarti sungai, sebagai pengingat kelam akan peristiwa tersebut.
Tragedi ini bukan hanya sekadar kekejaman kolonial, tetapi juga menggambarkan bagaimana rasa takut dan iri hati dapat berubah menjadi tindakan kekerasan yang menghancurkan kehidupan banyak orang. Setelah peristiwa ini, VOC mengubah kebijakan mereka terhadap komunitas Tionghoa dengan menerapkan pembatasan ketat terhadap hak dan aktivitas mereka, yang berdampak pada hubungan antar etnis di Batavia hingga masa mendatang.
Sejarah pembantaian Batavia 1740 mengajarkan kita pentingnya keadilan dan kemanusiaan dalam mengelola keberagaman masyarakat. Kekerasan dan diskriminasi hanya akan meninggalkan luka mendalam, sementara toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera. (LSA)