Srawung Demokrasi #10 Tinjau Ulang Penyetaraan Soeharto dan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional

SLEMAN | Priangan.com -Srawung Demokrasi #10 yang digelar oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia pada Senin (1/12) dengan tajuk “Soeharto: Agenda di Balik Gelar Pahlawan?”, menilai bahwa penyandingan Soeharto dan aktivis serikat buruh Marsinah sebagai Pahlawan Nasional pada waktu yang sama berpotensi mengaburkan posisi korban dan pelaku dalam sejarah kekerasan negara. Acara ini diisi oleh Penasihat Senior Lab 45, Andi Widjajanto, eks Komisioner Komnas HAM RI, Amiruddin Al Rahab, serta Desmalinda, peneliti dari PSAD UII, sebagai moderator.

Amiruddin menyatakan bahwa dirinya terganggu bukan hanya oleh gelar pahlawan untuk Soeharto, tetapi juga oleh cara negara mempahlawankan Marsinah. “Saya tidak keberatan Marsinah jadi pahlawan. Tapi ia dijadikan pahlawan untuk mengimbangi Pak Harto. Itu cara berpikir yang keji,” ujarnya.

Ia melihat langkah tersebut mereduksi nilai perjuangan Marsinah sebagai korban pembunuhan politik yang hingga kini tidak pernah diusut tuntas. Negara bahkan belum mampu menjawab pertanyaan paling mendasar: “Untuk kepentingan apa Marsinah dibunuh?”.

Amir menjelaskan bahwa ia mengenal dekat tim investigasi era 1994–1995 yang menangani kasus tersebut. “Saya tahu betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Sampai hari ini tidak ada satu pun jawaban negara,” katanya. Mempahlawankan Marsinah tanpa menyelesaikan akar kejahatannya justru mengaburkan kekejian yang menimpa dirinya.

Dari sudut pandang lain, Andi Widjajanto melihat penyetaraan simbolik antara Soeharto dan Marsinah sebagai upaya yang menghapus garis batas moral antara kekuasaan dan korban. Untuk menjelaskan poin tersebut, ia merujuk pada filosofi Vietnam Veterans Memorial Wall, monumen berbentuk huruf V yang dirancang Maya Lin, mahasiswa arsitektur berusia 21 tahun pemenang sayembara nasional pada 1981.

Monumen dari granit hitam reflektif itu memuat hampir 58.000 nama prajurit Amerika Serikat yang gugur di Perang Vietnam, disusun berdasarkan kronologi kematian, bukan pangkat. Ketika pengunjung berjalan dari ujung monumen, dinding yang semula rendah perlahan meninggi hingga melampaui kepala dan kemudian kembali “masuk” ke tanah, menciptakan pengalaman emosional akan banyaknya korban yang hilang. Sifat reflektif granit membuat wajah pengunjung turut terlihat ketika membaca nama-nama itu, menjadikan pengunjung seolah hadir bersama para korban.

Lihat Juga :  Antisipasi Kericuhan, Sekolah di Singaparna dan Mangunreja Sementara Diliburkan

“Filosofinya adalah kalau terjadi kekerasan, kalau terjadi perang, kalau terjadi konflik, maka cara terbaik untuk menyadarkan bangsa tentang perang adalah dengan memprioritaskan korban. Memprioritaskan yang gugur,” jelas Andi.

Lihat Juga :  Akademisi UNIK: Hentikan Saling Tuduh, Jawab Aspirasi Demonstran dengan Solusi Nyata

Menurutnya, filosofi itu relevan untuk membaca kembali penetapan pahlawan tahun 2025. Marsinah adalah korban represi negara, sementara Soeharto memimpin struktur kekuasaan tempat kekerasan itu terjadi. Ketika keduanya disetarakan sebagai pahlawan, batas moral itu hilang.

Langkah ini dinilai dapat menormalisasi kekerasan struktural dan menyesatkan pemahaman generasi muda tentang sejarah Orde Baru. Andi menjelaskan bahwa sejarah kerap mengagungkan para pemenang dan mengabaikan korban, padahal keberadaan korban menandakan bahwa pelaku pun ada. Kesadaran tersebut perlu terus dipelihara agar kekerasan tidak kembali terulang dan agar pengalaman sejarah dapat dibaca dengan kepekaan moral yang memadai. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos