SLEMAN | Priangan.com – Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia kembali menggelar Srawung Demokrasi #10 dengan tajuk “Soeharto: Agenda di Balik Gelar Pahlawan?” pada Senin (1/12) di Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito, Kampus UII. Dalam diskusi tersebut, eks Komisioner Komnas HAM RI, Amiruddin Al Rahab, menyebut penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional merupakan praktik “memory calling”, yakni upaya negara memanggil kembali memori politik Orde Baru dan menormalkannya sebagai versi sejarah yang sah hari ini.
Amiruddin menegaskan bahwa mempahlawankan Soeharto berarti mengabaikan TAP MPR No. XVII/1998 yang secara tegas menyatakan adanya pelanggaran HAM berat di masa pemerintahannya. “TAP ini merupakan tonggak perubahan dari satu masa. Pertanyaannya, mengapa MPR membuat TAP ini? Kesimpulannya waktu itu adalah bahwa di era Pak Harto terjadi satu hal yang sangat luar biasa, yaitu banyaknya pelanggaran hak asasi manusia. Maka pada 1998, dilahirkanlah TAP ini,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa TAP tersebut memicu lahirnya rangkaian kebijakan politik-hukum antara 1998–2000 yang secara eksplisit membangun sistem perlindungan HAM di Indonesia. Pertama, UU HAM No. 39/1999 yang untuk pertama kalinya mengatur secara tertulis bahwa negara harus dikelola dengan prinsip penghormatan HAM. Kedua, pembentukan Komnas HAM sebagai lembaga pengawas. Ketiga, UU Pengadilan HAM No. 26/2000 yang disusun karena negara mengakui adanya pelanggaran HAM berat sebelumnya.
Reformasi hukum tersebut kemudian diperkuat melalui amandemen UUD 1945, terutama Pasal 28A–28J, yang mengukuhkan HAM sebagai mandat konstitusi. “Jadi kalau ada yang bilang HAM itu asing, berarti dia bertentangan dengan konstitusi,” tegas Amiruddin.
Seluruh kebijakan tersebut, lanjutnya, tidak lahir tanpa dasar. Sejak 1999 hingga 2022, Komnas HAM telah menyelidiki 17 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi antara 1965 hingga 2000-an. Dari 17 peristiwa tersebut, 15 di antaranya terjadi ketika Soeharto menjabat. “Itu menunjukkan bahwa pelanggaran HAM itu benar adanya,” jelasnya.
Ia juga merujuk pernyataan resmi Presiden Joko Widodo pada 2022 yang mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat, serta memerintahkan upaya pemulihan bagi korban. “Kalau presiden mengakui adanya korban, bagaimana mungkin pelakunya diberi gelar pahlawan?” kata Amiruddin.
Namun, ia menilai pengungkapan kasus-kasus tersebut terhambat bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena proses peradilan yang tidak pernah dibuka secara maksimal. “Bukan karena buktinya yang tidak ada, tapi prosedur proses hukumnya yang tidak dibuat. Kalau semua itu dibuka, ya buktinya akan keluar,” ujarnya.
Amiruddin kemudian mengingatkan bahwa gelar pahlawan bagi Soeharto dapat mengaburkan ingatan kolektif masyarakat mengenai kekerasan negara. “Memory calling adalah usaha menormalisasi hal-hal yang dulu dinilai tidak normal. Ini dapat menghapus konteks pelanggaran HAM dari ingatan generasi muda,” katanya.
Diskusi ini dihadiri ratusan peserta dan menjadi ruang refleksi kritis atas bagaimana negara membentuk ingatan sejarah, serta bagaimana masyarakat sipil perlu terus menjaga akal sehat publik dalam membaca masa lalu. (LSA)

















