SLEMAN | Priangan.com – Denting panci dan rantang bergema di Bundaran UGM, Sleman, D.I. Yogyakarta, Jumat (3/10/2025). Sejumlah ibu-ibu dan perempuan muda berkumpul dalam Kenduri Suara Ibu Indonesia untuk merespons Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang merebak di berbagai daerah.
Lewat diskusi publik dan simbolisasi suara peralatan dapur, mereka menyampaikan keresahan sekaligus protes atas sistem pangan yang dinilai abai terhadap keselamatan anak-anak. Bunyi rantang yang bersahutan menjadi tanda perlawanan: suara ibu tak boleh diabaikan.
Kenduri ini dihadiri sejumlah tokoh, di antaranya penulis dan aktivis gender Kalis Mardiasih, petani Gunung Kidul Diah Widuretno, ahli politik pangan Laksmi Savitri, aktris Siti Fauziah Saekhoni atau Bu Tejo, serta aktivis perempuan lain yang menegaskan kritik serupa.
Dalam forum diskusi, para peserta menilai regulasi MBG jauh dari tujuan awalnya. Alih-alih menghadirkan pangan bergizi dari bahan segar dan lokal, menu yang sampai ke anak-anak justru burger, spageti, makanan beku, dan susu kemasan dari industri besar.
“Pas ada anak Jember mencret gara-gara keracunan spageti, mulutnya pejabat pada asbun bilang ‘karena nggak terbiasa’. Dipikirnya ngasih spageti tuh udah paling hebat, terus perut anak desa yang nggak terbiasa dianggap katrok,” sindir Diah.
Sementara itu, Laksmi Savitri menyoroti tata kelola MBG yang dianggap terlalu sentralistik. Menurutnya, SPPG dipaksa memasak dalam skala besar sehingga pilihan termudah adalah bahan pangan industri—beku, hampir kedaluwarsa, atau sisa stok gudang supermarket.
“Pangan itu martabat manusia. Jadi kalau anak-anak dihina lewat pengadaan pangan yang berantakan, artinya mereka dihina oleh negara,” tegas Laksmi.
Peserta kenduri menilai respons pemerintah terhadap kasus keracunan sebatas ucapan “maaf”, tanpa solusi nyata. Karena itu, para ibu lebih memilih memasakkan sendiri untuk anak-anak mereka.
“Seorang ibu tahu betul apa yang layak dimakan anaknya, bukan makanan instan berisiko racun,” ungkap mereka.
Kalis Mardiasih menambahkan pentingnya mengubah pola pikir penyediaan pangan anak. “Kalau orientasinya beneran pemenuhan gizi, mudah kok. Kasih aja anggarannya ke sekolah atau komunitas. Jangan malah maksa sekolah yang sudah puluhan tahun praktik dapur sehat buat tutup,” ucapnya.
Meski bernuansa protes, acara berlangsung hangat. Peserta tampil dengan busana berwarna cerah, menampilkan musik dan puisi. Bunyi rantang dan panci tak sekadar simbol, tapi pesan bahwa suara perempuan bisa nyaring tanpa teriak.
Kehadiran Bu Tejo menambah semangat aksi. “Suara ibu jangan pernah diremehkan. Mereka yang tiap hari bergulat dengan dapur, pangan, dan masa depan anak,” ujarnya.
Melalui kenduri ini, para ibu mendesak penghentian program MBG yang dianggap hanya menguntungkan bisnis pangan global, berbasis komando, dan mengabaikan sumber pangan lokal.
Kenduri Suara Ibu Indonesia pun menjadi penanda solidaritas: memberi makan bukan sekadar mengenyangkan, tapi menjaga martabat dan masa depan anak bangsa. (LSA)