JAKARTA | Priangan.com – Sosok Inggit Garnasih bukan hanya sekadar seorang istri bagi Soekarno, ia adalah figur perempuan yang berdiri kokoh di belakangnya, memberikan dukungan tanpa batas serta pengorbanan tanpa pamrih dalam perjalanan panjang menemani sang suami untuk meraih kemerdekaan bangsa. Meski kisahnya kerap tenggelam di antara tokoh-tokoh besar lain, peran Inggit tetap tak bisa dianggap sepele.
Lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Bandung, pada 17 Februari 1888, Inggit bukanlah keturunan orang kaya. Ia justru berasal dari keluarga sederhana. Meski begitu, keterbatasan latar belakangnya itu tak pernah jadi penghalang baginya untuk terlibat dalam pergerakan nasional. Bahkan, meski hanya berbekal pendidikan dasar, ia tetap mengikuti dan memberikan masukan lewat Soekarno untuk senantiasa berjuang demni kemerdekaan Indonesia.
Konon, Inggit bertemu dengan Soekarno pada tahun 1921, ketika ia masih berstatus sebagai seorang mahasiswa di THS (sekarang ITB). Keduanya akhirnya menikah pada tahun 1923, setelah Soekarno berpisah dari istri pertamanya, Siti Oetari. Sejak saat itu, Inggit menjadi sosok yang tak tergantikan dalam hidup Soekarno. Ia tak hanya berperan sebagai seorang istri, tetapi juga sebagai teman perjuangan yang setia.
Sebagai istri dari seorang tokoh yang aktif bergerak di dunia politik, Inggit sering mendampingi Soekarno dalam berbagai kesempatan, bahkan sampai di luar batas kewajaran seorang istri pada umumnya. Ia dikabarkan pernah menjadi penerjemah bahasa Sunda ketika Soekarno menyampaikan pidato-pidato nasionalismenya, membantu membuatkan materi pidato, hingga menyisihkan uang untuk bekal perjuangan suaminya. Tak berhenti sampai di sana, ia juga bekerja keras berjualan bedak, lulur, dan rokok lintingan, demi menghidupi mereka selama masa pengasingan Soekarno.
Contoh lain kesetiaan Inggit kepada Soekarno terlihat pada tahun 1934. Kala itu, Soekarno diasingkan ke Ende, Flores, oleh pemerintah kolonial Belanda. Inggit tak berpikir panjang, ia memutuskan untuk ikut serta, meninggalkan segala kenyamanan yang dimilikinya demi mendampingi sang suami di tempat yang jauh dan asing.
Di masa pengasingan itu, Inggit senantiasa bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan berdagang kecil-kecilan. Kesetiaannya tetap tak tergoyahkan ketika mereka kembali diasingkan, kali ini ke Bengkulu tepatnya pada tahun 1938. Meski jarak dan penderitaan menghantam, Inggit tak pernah mundur.
Ujian terberat datang pada tahun 1942, ketika Soekarno menyampaikan keinginannya untuk menikah lagi dengan Fatmawati, seorang perempuan yang dikenalnya di Bengkulu. Permintaan ini tentu saja menjadi pil pahit bagi Inggit yang telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk mendukung perjuangan Soekarno. Dengan lapang dada, Inggit pun kala itu memilih pulang ke Bandung, mengakhiri pernikahannya setelah lebih dari dua dekade hidup bersama.
Pasca meninggalkan Soekarno, Inggit menghabiskan sisa hidupnya di Bandung dengan penuh kesederhanaan. Pada 13 April 1984, ia menghembuskan napas terakhir di usianya yang ke 96 tahun. Meski telah tiada, namun kisah-kisah tentangnya sampai saat ini masih dikenang, menjadi bagian dari sejarah yang tak bisa terlupakan, bahkan tak lekang zaman. (ersuwa)