Sisi Gelap Masa Kolonialisme yang Belum Usai: Rahasia Regu Pembunuh Hindia Belanda

JAKARTA | Priangan.com – Selama masa Revolusi Indonesia antara tahun 1945 hingga 1950, perang kemerdekaan tidak hanya berlangsung di medan tempur yang terlihat, tetapi juga di dunia gelap intelijen. Di balik kabut konflik itu, Belanda ternyata memiliki pasukan rahasia yang bekerja tanpa bayangan hukum, satuan yang kemudian dikenal sebagai ‘regu pembunuh’. Tugas mereka sederhana sekaligus mengerikan, yaitu mencari, menyingkirkan, dan membungkam siapa pun yang dianggap mengancam kepentingan kolonial.

Dilansir dari National Geographic Indonesia, sejarawan Rémy Limpach dalam bukunya yang berjudul “Tasten in het duister” (Meraba dalam Gelap) mengungkap keberadaan kelompok ini dengan detail yang mengejutkan. Ia menemukan bahwa Belanda, melalui satuan intelijen militernya, membentuk tim-tim kecil yang beroperasi secara tertutup di berbagai wilayah Indonesia. Jawa Barat dan Jawa Timur menjadi ladang operasi utama, sementara jejak mereka juga tercium di Jawa Tengah dan Sumatera Barat.

Regu-regu ini merupakan gabungan dari berbagai latar belakang prajurit Belanda, serdadu Indo-Eropa, orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda, hingga tentara Maluku yang dianggap lebih mudah berbaur dengan masyarakat lokal.

Di permukaan, mereka berperan sebagai mata-mata dan pengumpul informasi. Namun dalam praktiknya, mereka menjadi algojo yang mengeksekusi perintah-perintah gelap tanpa proses hukum. Sasaran mereka beragam, dari pemimpin pasukan republik, penghubung bawah tanah, hingga warga yang dicurigai berhubungan dengan gerilyawan.

Ironisnya, meskipun operasi mereka dilakukan di luar prosedur resmi, banyak di antara pelakunya justru menerima penghargaan militer atas “keberhasilan tugas”.

Limpach menulis bahwa kekerasan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kerja intelijen Belanda. Penyiksaan terhadap tahanan dilakukan dengan berbagai cara, seperti pemukulan brutal, penyetruman, bahkan ancaman terhadap keluarga korban. Praktik ini sebenarnya dilarang secara resmi, tetapi di lapangan justru dibiarkan berlangsung.

Lihat Juga :  Jejak Panjang Kopi: Dari Ethiopia hingga Harum di Tanah Nusantara

Di tubuh KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, penyiksaan menjadi rahasia umum yang tidak pernah tersentuh pengadilan militer. Para perwira tinggi sering kali mengetahui, bahkan secara diam-diam menyetujui tindakan tersebut.

Namun, efektivitas kekerasan itu ternyata jauh dari harapan. Banyak petugas intelijen Belanda mengakui bahwa penyiksaan justru membuat mereka kehilangan arah. Para tahanan lebih sering memberi informasi palsu demi menghentikan rasa sakit. Limpach menggambarkan kondisi mereka seperti “petinju yang bertarung dengan mata tertutup”, sama maknanya dengan menyerang tanpa tahu sasaran yang sebenarnya, sementara lawan sudah lebih dulu memahami langkah mereka.

Lihat Juga :  Jejak Panjang Kopi: Dari Ethiopia hingga Harum di Tanah Nusantara

Dalam situasi kacau ini, jaringan intelijen Indonesia justru menunjukkan kekuatannya. Di pihak republik, Tentara Nasional Indonesia membangun sistem intelijen yang rapi hingga ke tingkat kampung. Informasi mengalir melalui jaringan masyarakat yang solid, seperti petani, pedagang, hingga perempuan yang bekerja sebagai babu atau pekerja seks. Mereka memanfaatkan kehidupan sehari-hari sebagai kedok untuk menjalankan misi rahasia.

Salah satu kisah yang dicatat Limpach bahkan terdengar seperti sandi dalam film mata-mata, di mana seorang pengasuh memberi tanda kepada para pejuang dengan cara menjemur kain berwarna tertentu di halaman rumah, sebuah isyarat sederhana bahwa patroli Belanda akan segera datang.

Namun, seperti banyak perang lainnya, kekerasan tidak hanya dimonopoli oleh satu pihak. Di tengah perjuangan yang penuh idealisme, sebagian pasukan republik juga melakukan tindakan serupa terhadap sesama anak bangsa. Orang-orang yang dianggap pengkhianat, mata-mata Belanda, atau bahkan sekadar dicurigai berkolaborasi, sering kali menjadi korban penyiksaan dan pembunuhan tanpa pengadilan.

Limpach tidak menutup mata terhadap fakta itu, tetapi ia menegaskan bahwa secara moral dan politik, perang yang dilakukan Republik Indonesia adalah perjuangan sah melawan kekuasaan kolonial yang berusaha melenyapkan kemerdekaan bangsa.

Lihat Juga :  Peristiwa Kebon Rojo; Jejak Perlawanan Rakyat Usai Proklamasi

Kini, lebih dari tujuh puluh tahun setelah revolusi usai, kisah tentang regu pembunuh Belanda tetap menjadi bab gelap yang jarang disentuh dalam buku sejarah resmi. Fakta-fakta yang terungkap melalui penelitian Limpach bukan sekadar pengingat akan kekejaman masa lalu, tetapi juga cermin bahwa perang selalu meninggalkan luka yang lebih dalam dari sekadar pertempuran bersenjata. Di balik setiap strategi militer dan kemenangan diplomatik, ada kisah manusia tentang penderitaan, ketakutan, dan keberanian dalam menghadapi bayang-bayang kekuasaan yang menindas. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos