JAKARTA | Priangan.com – Raden Ajeng Kartini atau R.A Kartini adalah sosok yang sangat luar biasa. Wanita kelahiran Jepara, 21 April 1879, itu berjasa dalam memperjuangkan hak-hak wanita di Indonesia. Meski perjuangannya cukup singkat, yakni mulai 1890 hingga 1904 saja, namun ia mampu membawa perubahan besar terhadap keberadaan wanita hingga saat ini. Kartini berhasil memperjuangkan emansipasi perempuan dan mengeluarkan mereka dari belenggu diskriminasi serta ketidakadilan.
Perjuangannya itu diilhami oleh kehidupan sang ibu, Ngasirah. Sejak kecil, ia melihat bagaimana ibunya yang bukan berasal dari kalangan bangsawan, harus menghadapi berbagai keterbatasan dan ketidakadilan dalam rumah tangganya. Meski menjadi istri pertama dari Bupati Jepara, Raden Mas Sosroningrat, Ngasirah tidak diberikan hak istimewa. Sang Ayah, malah menjadikan istri keduanya, Woerjan, sebagai istri utama lantaran ia merupakan keturunan seorang Raja dari Madura.
Tak hanya itu, adanya kondisi ini juga membuat Ngasirah tidak diperkenankan untuk tinggal di pendopo bersama suaminya. Bahkan, Ngasirah harus memanggil anak-anaknya sendiri dengan sebutan “ndoro” yang mempunyai arti majikan.
Seiring berjalannya waktu dan Kartini beranjak dewasa, pengalaman hidup tersebut semakin menguatkan tekadnya untuk memperjuangkan perubahan. Kartini tidak ingin tradisi tersebut terus berlanjut. Ia menyadari kalau pendidikan adalah kunci untuk membebaskan perempuan dari belenggu ketidakadilan dan ketidaksetaraan ini.
Menginjak usia remaja, kartini pun memulai perjuangannya lewat karya tulis dan memuatnya di berbagai majalah. Tulisan-tulisan itu dibuat untuk memotivasi serta memberikan kesadaran kepada kaum perermpuan di seluruh Indonesia. Salah satu majalah yang memuat tulisan Kartini kala itu adalah majalah “De Hollandsche Lelie”. Dalam setiap karya tulisnya, Kartini selalu menekankan pentingnya pendidikan bagi seorang perempuan sebagai bekal mereka untuk mengarungi kerasnya kehidupan.
Selain lewat tulisan, Kartini juga berjuang melalui dunia pendidikan. Sebelum menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Kartini sempat menyatakan sejumlah syarat, dimana salah satunya adalah mendirikan sekolah bagi kaum perempuan.
Lewat sekolah itulah, ia menyalurkan pemikiran kritisnya kepada kaum perempuan yang menjadi generasi-generasi penerus masa depan Indonesia. Sayangnya, baru sebentar melakukan perjuangan, Sang Pencipta memanggilnya. Tepat pada tanggal 17 September 1904, Kartini wafat di usia mudanya yang baru menginjak usia 25 tahun.
Kendati sebentar, perjuangan Kartini dalam emansipasi perempuan tidak bisa dianggap remeh. Perjuangan itu juga nyatanya telah menginspirasi banyak pihak. Meski telah wafat, tulisan-tulisan Kartini kala itu tetap hidup dan menjadi inspirasi, salah satunya bagi Jackques Henrij Abendanon, seorang direktur di Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda kala itu yang juga merupakan salah seorang teman pena Kartini semasa hidupnya.
Oleh Jackques, tulisan-tulisan Kartini kemudian dibukukan tepat pada tahun 1911 dengan judul “Door Duisternis tot Licht” atau dalam bahasa Indonesia berarti Habis Gelap Terbitlah Terang. Pemikiran kritis Kartini dalam buku tersebut, pada saat itu berhasil mengguncang Amsterdam ketika pertamakali diterbitkan. Atas segala perjuangannya ini juga, Kartini ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada tahun 1964 silam. (ldy)