TASIKMALAYA | Priangan.com – Di sebuah sudut Kampung Bojong Tengah, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, aroma bubur ayam yang hangat menjadi saksi bisu dari mimpi besar sepasang suami istri sederhana. Wasman (52) dan Dede Yeni (46), bukan nama besar, bukan pula pengusaha bermodal besar.
Mereka hanya penjual bubur ayam yang memulai segalanya dari roda gerobak, namun siapa sangka, mereka kini bersiap menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, berangkat 16 Mei 2025.
Semua bermula dari hal sepele namun membekas: sinetron “Tukang Bubur Naik Haji” yang kerap mereka tonton selepas berdagang. “Kami pikir, kalau dia bisa, kenapa tidak kami coba?” ujar Wasman, tersenyum mengenang awal keyakinannya menabung untuk haji.
Usaha bubur ayam mereka dirintis sejak 1996. Saat itu, satu porsi hanya seharga seribu rupiah, disajikan dengan cakue dan kerupuk. Wasman membawa gerobaknya keliling kampung, dari pintu ke pintu. “Dulu saya mulai jam lima pagi, ngider sampai kaki pegal. Tapi tetap semangat, karena ini jalan kami untuk hidup,” katanya.
Bertahun-tahun berdagang, perlahan usaha mereka tumbuh. Bubur ayam buatan Wasman dikenal lezat dan terjangkau. Kini satu mangkuknya sudah lengkap dengan ati ampela, telur puyuh, dan emping—disajikan di dua titik, satu di rumah dan satu lagi di kawasan Tanjung, Kecamatan Kawalu, yang kemudian menjadi nama dagang mereka: Bubur Ayam Tanjung.
Namun keberhasilan finansial bukanlah tujuan akhir. Di sela rutinitas bangun subuh dan melayani pelanggan, mereka menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilan untuk satu tujuan mulia: pergi ke Baitullah.
“Awalnya kami hanya buka tabungan Rp 5 juta tahun 2010. Tapi baru sadar betul soal pentingnya daftar haji itu saat pembimbing haji yang beli bubur nyarankan kami segera mendaftar, karena antreannya panjang,” kenang Wasman.
Tahun 2013, mereka mendaftar haji untuk satu orang dulu. Setahun kemudian, setelah mengumpulkan lagi, barulah Dede Yeni menyusul. Total biaya pendaftaran haji saat itu mencapai Rp 50 juta. Tak berhenti di situ, mereka terus mencicil biaya pelunasan—bahkan terkadang hanya Rp 1 juta per bulan.
“Alhamdulillah, selain daftar haji, kami juga bisa beli rumah dalam dua tahun. Semua dari hasil jualan bubur,” tambah Dede, haru.
Meski akan menunaikan haji, gerobak bubur tak boleh berhenti. Demi menjaga pelanggan tetap setia, Wasman telah menyiapkan roda gerobak khusus yang bisa ditarik dengan motor, dan keponakannya akan menggantikan sementara selama mereka di Mekkah. “Biar usaha tetap jalan, dan keluarga juga tidak kesulitan,” tuturnya.
Kini, langkah mereka menuju tanah suci bukan lagi sekadar mimpi di layar kaca. Doa, kerja keras, dan gerobak yang setia menemani hari-hari mereka akhirnya membuahkan hasil.
Bagi Wasman dan Dede, mobil atau motor mungkin belum dimiliki. Tapi, ada satu hal yang tak bisa dibeli di showroom manapun—kesempatan menjadi tamu Allah, hasil dari semangkuk bubur ayam yang menghangatkan lebih dari sekadar perut. (yna)