JAKARTA | Priangan.com – Ini adalah Prof. Dr. Satrio. Tak banyak orang yang mengenal sosoknya, tapi namanya diabadikan pemerintah sebagai salah satu nama jalan utama di Jakarta. Lantas, siapakah dia?
Prof. Dr. Satrio adalah seorang dokter tentara yang telah mengabdikan hidupnya bagi masyarakat, terutama dalam bidang kesehatan pada masa revolusi kemerdekaan. Di tengah kekacauan perang gerilya melawan Belanda, Dr. Satrio tak hanya berjibaku merawat para prajurit yang terluka, ia juga sukarela membantu masyarakat untuk melawan wabah cacar yang kala itu menerpa.
Pada Desember 1948, saat situasi di Banten Selatan semakin genting akibat agresi militer Belanda, Dr. Satrio mendapat laporan dari seorang penunjuk jalan bahwa ada banyak penduduk di daerah pedalaman menderita penyakit cacar. Saat ia tiba di salah satu kampung, pemandangan yang tersaji begitu memilukan. Tubuh mereka dipenuhi bisul bernanah. Saat itu ia punya kesimpulan, kalau ini bukan cacar air biasa, melainkan variola vera, jenis cacar yang mematikan.
Selama bertahun-tahun, tidak ada vaksinasi karena pendudukan Jepang dan situasi perang yang membuat layanan kesehatan nyaris tak tersentuh. Jika dibiarkan, penyakit ini bisa menjadi epidemi.
Masalahnya, Dr. Satrio tidak punya vaksin untuk segera diberikan. Ia tahu kalau tanpa vaksin, tak ada cara lain untuk menghentikan penyebaran penyakit ini. Kembali ke markas, ia berdiskusi dengan rekan-rekannya dan mendapat informasi tentang seorang mantan mantri cacar bernama Suria yang tinggal di Malingping. Tanpa buang waktu, ia pun menempuh perjalanan panjang untuk mencarinya.
Perjalanan empat hari itu tidak sia-sia. Suria masih memiliki 30 ampul vaksin cacar, cukup untuk melindungi sekitar seratus orang. Namun, ini jelas tidak cukup untuk seluruh penduduk Banten Selatan. Selain itu, mereka juga membutuhkan gliserin sebagai pelarut vaksin. Berbekal pengalaman, Suria mengusulkan agar mereka membuat vaksin sendiri dari kulit kerbau, sebuah metode yang pernah ia pelajari.
Persiapan pun dimulai. Mereka harus mencari gliserin, kerbau sehat, alat penggiling, serta wadah penyimpanan vaksin. Dengan bantuan seorang perwira daerah, mereka mendapatkan kerbau yang diperlukan.
Dari kulit kerbau yang telah terinfeksi secara terkendali, mereka mengekstrak bahan vaksin, mengeringkannya, lalu mencampurnya dengan gliserin untuk menciptakan vaksin baru. Gilingan kopi digunakan sebagai alat penghalus, dan batang pisang dijadikan wadah penyimpanan sementara.
Dari hanya 30 ampul awal, mereka berhasil menggandakan vaksin hingga cukup untuk melindungi 20.000 orang. Dengan vaksin ini, Dr. Satrio dan timnya bergerak dari desa ke desa, tidak hanya di Banten Selatan tetapi hingga ke Bogor, memastikan sebanyak mungkin penduduk menerima perlindungan.
Perjalanan mereka tidak mudah. Mereka harus melewati rawa-rawa yang penuh lintah, menghadapi cuaca buruk, serta keterbatasan logistik. Namun, tekad mereka tidak goyah. Setiap kali vaksin hampir habis, mereka kembali memproduksi vaksin di tempat selama bahan-bahan tersedia. Bahkan, sisa daging kerbau yang digunakan sebagai media vaksin diolah menjadi bekal perjalanan.
Dalam waktu yang relatif singkat, mereka berhasil memvaksin hampir 300 ribu orang. Para penduduk yang sebelumnya ketakutan justru menyambut mereka dengan tangan terbuka, memahami betapa pentingnya vaksinasi bagi keselamatan mereka. Tidak ada yang menolak, dan mereka patuh ketika diminta memisahkan yang sehat dari yang sakit agar wabah tidak semakin menyebar.
Bagi Dr. Satrio, ini bukan hanya tugas tambahan di luar kewajibannya sebagai dokter tentara. Baginya, melindungi rakyat sama pentingnya dengan mempertahankan kemerdekaan. Ia memahami jika wabah dibiarkan, para pejuang gerilya pun bisa tertular. Dampaknya, melemahkan pertahanan Republik.
Upaya heroiknya ini kemudian dikenal sebagai “long march memberantas cacar”. Pemerintah Republik Indonesia mengakui jasanya dan menganugerahkan bintang gerilya sebagai bentuk penghormatan. Hari ini, nama Prof. Dr. Satrio terpampang di salah satu jalan utama Jakarta, namun sedikit yang tahu bahwa di balik nama itu ada kisah seorang dokter yang begitu heroik. (Ersuwa)