JAKARTA | Priangan.com – Ragam tradisi dan budaya hidup di seluruh penjuru dunia. Sebagian ada yang unik, sebagian lain ada yang ekstrem. Di pedalaman Hutan Amazon, misalnya, di sana ada satu tradisi ekstrim yang biasa dilakukan oleh Suku Jivaroan.
Tradisi itu dikenal sebagai Tsansa atau Shrunken Head. Kenapa disebut ekstrem? Itu karena dalam menjalankan tradisi tersebut Suku Jivaroan akan memotong kepala musuh lalu mengecilkannya. Mereka percaya kalau roh orang yang dibunuh dalam pertempuran bisa kembali untuk membalas dendam.
Oleh karena itu, mereka biasanya akan memenggal kepala musuh yang telah tewas lalu mengecilkannya untuk menjebak roh tersebut agar tidak balas dendam. Kepala yang sudah dikeringkan dan diperkecil ini disebut sebagai tsantsa dan dianggap memiliki kekuatan mistis serta menjadi simbol kemenangan dalam peperangan.
Proses pembuatan tsantsa sendiri dilakukan dengan teknik yang teliti dan membutuhkan waktu berhari-hari. Setelah kepala musuh dipenggal, kulitnya dipisahkan dengan hati-hati dari tengkorak. Kulit kepala kemudian direbus dalam air mendidih selama beberapa jam hingga menyusut.
Setelah itu, kepala dikeringkan dengan memasukkan pasir panas dan batu kecil ke dalamnya agar semakin mengecil namun tetap mempertahankan bentuk wajah. Kelopak mata dan mulut dijahit, sementara bagian luar kepala diasapi untuk memperkuat struktur serta memastikan roh tidak bisa keluar dari dalamnya.
Selain sebagai cara untuk menghindari roh pendendam, tsantsa juga digunakan sebagai piala kemenangan bagi suku Jivaroan. Kepala yang mengecil sering kali dijadikan kalung dan dikenakan oleh para prajurit sebagai simbol keberanian. Tradisi ini juga diajarkan kepada anak laki-laki yang beranjak dewasa sebagai bagian dari ritual kedewasaan mereka.
Konon, ketika penjelajah Eropa pertama kali menemukan kepala-kepala mengecil ini pada abad ke-19, mereka terkejut dan sekaligus tertarik. Popularitas tsantsa sebagai barang koleksi di dunia Barat pun semakin meningkat.
Muaranya, hal ini memicu perdagangan kepala manusia. Permintaan yang tinggi membuat praktik ini semakin meluas, bahkan tidak jarang suku Jivaroan mulai memburu korban dari kelompok lain untuk memenuhi permintaan pasar. Pada akhirnya, praktik ini berkembang menjadi perdagangan gelap yang jauh dari tujuan spiritual aslinya.
Pada awal abad ke-20, pemerintah di Amerika Selatan mulai melarang praktik ini, terutama karena meningkatnya angka kekerasan yang ditimbulkan. Namun, perdagangan ilegal kepala mengecil tetap berlangsung hingga beberapa dekade kemudian. Banyak museum di Eropa dan Amerika sempat memajang tsantsa sebagai artefak budaya eksotis, tapin belakangan kesadaran akan aspek etis dari pajangan ini meningkat. Beberapa museum pun akhirnya mengembalikan tsantsa ke komunitas asalnya sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi yang telah lama disalahgunakan.
Kini, praktik mengecilkan kepala manusia nyaris tidak ditemukan lagi, Meski begitu, peninggalannya masih tersimpan di berbagai museum dan koleksi pribadi. Bagi suku Jivaroan, tradisi ini adalah bagian dari sejarah mereka. Walau kontroversial, itu tetap menjadi saksi dari kepercayaan dan cara hidup nenek moyang mereka di tengah kerasnya perjuangan bertahan di hutan Amazon. (Ersuwa)