GARUT | Priangan.com – Di balik sapaan “pendengar yang budiman” yang mengudara setiap malam dari studio kecil di Garut pada era 70-an, ada suara lembut Hilman Niagara yang menemani banyak hati lewat gelombang radio. Bukan sekadar penyiar, Hilman adalah saksi hidup perjalanan radio lokal dari masa perjuangan hingga era digital.
Perjalanan Hilman dimulai secara tak sengaja, ketika ia masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Hobinya mendengarkan radio dan memberikan masukan soal kualitas suara ternyata mengantarnya ke ruang siar Radio Hanura—singkatan dari Hati Nurani Rakyat—yang saat itu mengudara lewat gelombang AM.
“Waktu itu saya suka kirim laporan pemancar ke Radio Hanura. Lalu Pak Haji Sukarna ngajak saya gabung jadi operator,” ujar Hilman, mengenang awal mula kariernya saat ditemui di acara temu kangen mantan penyiar Radio Antares, di Tarogong Kaler, Minggu (27/7/2025).
Radio Hanura bukan sekadar media, tapi bagian dari pergerakan. Stasiun itu menjadi corong organisasi KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) dan termasuk radio pertama di Kabupaten Garut. Namun karena regulasi pemerintah yang mengharuskan radio berbadan hukum, Hanura berubah nama menjadi Antares pada 1971—diambil dari nama bintang terang di langit selatan.
Tahun 1969 menjadi titik balik hidup Hilman. Dari operator, ia naik panggung sebagai penyiar dan dipercaya membawakan program Kesahduan Malam, sebuah acara yang khas di telinga pendengar waktu itu. “Suara penyiar dulu bisa jadi idola, karena belum ada televisi. Banyak yang mengira penyiar itu selebriti,” ujarnya sambil tersenyum.
Bersama Radio Antares, Hilman hidup dalam dunia suara selama puluhan tahun. Dari pita kaset hingga siaran digital, ia bertahan dengan satu prinsip: jadi penyiar yang bisa membuat orang tenang dan terhibur. Penampilannya yang rapi, nama yang mudah diingat, dan suara yang khas membuatnya memiliki banyak penggemar.
Namun, di balik ketenaran itu, Hilman tetap pribadi yang sederhana. “Banyak pendengar yang kirim surat, bahkan ada yang berharap jadi pasangan. Tapi saya tetap setia,” katanya sambil tertawa.
Hilman mengakhiri karier siarannya pada tahun 2014. Program terakhir yang ia pandu adalah Terapi Pagi, tayang pukul 07.00–09.00, berisi motivasi dan pesan-pesan inspiratif. “Saya pamit dari Antares lewat siaran yang penuh doa dan harapan. Tapi semangat saya tak pernah padam,” ucapnya.
Saat ditanya soal suka duka menjadi penyiar selama 47 tahun, Hilman menjawab singkat tapi mantap. “Saya lebih banyak sukanya. Dulu, sebelum televisi masuk desa-desa, radio itu jadi segalanya,” katanya.
Kini, di usianya yang ke-77, Hilman masih terlihat bugar. Ia menjaga stamina dengan senam pernapasan, dan suaranya pun masih jernih seperti di masa kejayaan. Meski sudah pensiun, semangatnya untuk terus memberi inspirasi tidak pernah surut.
Ia pun meninggalkan pesan kepada generasi penyiar masa kini: “Jadilah diri sendiri. Jangan meniru gaya orang lain. Suara kalian punya kekuatan, asal tulus dan jujur,” pesannya.
Dan untuk radio Antares, rumah yang telah menemaninya hampir setengah abad, Hilman berdoa: “Semoga tetap jaya di udara, damai di hati, dan terus menjalankan misinya membangun manusia seutuhnya lewat siaran radio.” (Az)