TASIKMALAYA | Priangan.com – Lebih dari separuh abad, Gunung Galunggung di Kabupaten Tasikmalaya bukan hanya dikenal karena letusannya yang dahsyat, tapi juga karena limpahan material pasirnya yang menjadi rebutan banyak pihak, termasuk keluarga mantan Presiden Soeharto.
Penambangan pasir di kaki Galunggung telah berlangsung sejak era 1970-an, bahkan sebelum letusan besar pada tahun 1982. Kala itu, masyarakat menggali pasir secara tradisional dari aliran sungai yang membawa material vulkanik dari hulu gunung.
“Saya mulai nambang pasir dari tahun 70-an. Dulu mah, cukup dengan cangkul sama karung aja. Gak ada alat berat,” ujar Aa Cungkring, warga Desa Mekarjaya, Kecamatan Padakembang, yang menjadi saksi hidup perjalanan panjang tambang pasir Galunggung.
Letusan Gunung Galunggung tahun 1982 membawa berkah sekaligus perubahan besar. Lautan pasir hitam yang dimuntahkan dari kawah mengubah wajah wilayah di sekitarnya. Keberadaan pasir ini segera menarik perhatian berbagai kalangan, termasuk pihak-pihak yang memiliki akses kekuasaan.
PT Humpuss, perusahaan milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, kala itu turut menambang pasir Galunggung secara besar-besaran. Pemerintah bahkan membangun jalur kereta api sepanjang delapan kilometer dari Sukaratu ke Indihiang, melalui Cibungkul, untuk mengangkut pasir menuju Jakarta.
“Dalam satu kali pengiriman bisa sampai 20 gerbong penuh pasir dikirim ke Jakarta,” tambah Aa Cungkring. “Waktu itu, tiap hari pasir ngalir ke kota buat bangun gedung-gedung tinggi. Kami rakyat kecil ikut kecipratan rejeki, walau gak sebesar perusahaan besar.”
Sisa-sisa kejayaan masa itu masih bisa dijumpai di Kampung Pirusa, Kecamatan Sukaratu, yang dikenal sebagai titik awal pengangkutan pasir via kereta. Bahkan, terowongan tua di Kampung Sindanggalih masih berdiri kokoh sebagai saksi bisu sejarah pasir Galunggung yang ikut membangun infrastruktur ibu kota.
Namun, kemegahan masa lalu menyisakan kerusakan lingkungan yang nyata. Dari video dokumentasi tahun 2016 yang direkam di Desa Mekarjaya, terlihat hamparan sawah dan pepohonan hijau. Kini, wilayah itu berubah menjadi kawasan gersang, penuh gundukan lumpur dan batu, hasil kikisan alat berat.
“Dulu banyak sawah di sini. Sekarang tanahnya sudah dijual ke pengusaha. Kami yang nambang manual makin tersingkir,” keluh Aa Cungkring, yang kini hanya mampu mengumpulkan satu atau dua colt bak pasir per hari.
Setelah era Cendana berakhir, para pengusaha lokal mengambil alih. Salah satunya Endang Abdul Malik, yang mulai aktif menambang pasir sejak awal tahun 2000-an. Meski intensitasnya menurun, penambangan masih terus berlanjut dan kini makin mendekati permukiman warga.
“Penambangan sudah sampai ke belakang rumah. Kadang air sungai keruh, bahkan ikan-ikan pada mati,” ujar seorang warga Linggajati, Kecamatan Sukaratu, yang enggan disebut namanya.
Seiring waktu, penambangan pasir Galunggung telah menjadi cerita panjang tentang kekayaan alam yang dikeruk demi pembangunan, meninggalkan warisan ekonomi sekaligus dilema ekologis. Kini, masyarakat di kaki Galunggung masih bertanya-tanya: sampai kapan tambang ini akan terus menggerus ruang hidup mereka? (yna)