Seppuku dan Bayang-Bayang Gelap di Balik Kemegahan Samurai

TOKYO | Priangan.com – Di balik layar sejarah Kekaisaran Jepang yang lekat dengan keindahan budaya, kemegahan istana, dan harmoni alam yang memesona, terdapat sisi gelap dan penuh disiplin yang tak kalah menarik untuk ditelusuri.

Salah satunya adalah kisah para samurai, prajurit elit yang tak hanya dikenal karena keberanian dan keahliannya bertarung, tetapi juga karena kode kehormatan yang mereka pegang teguh hingga ke ambang kematian.

Di antara berbagai tradisi yang mereka jalani, ada satu ritual yang paling mengerikan, yaitu ‘Seppuku’ atau ‘Hara-kiri’. Ini bukan sekadar bunuh diri, tetapi sebuah bentuk penebusan dan kehormatan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari jiwa seorang samurai.

Dalam sejarah Kekaisaran Jepang, Seppuku dikenal sebagai ritual bunuh diri yang merefleksikan pemahaman mendalam tentang kehormatan, penebusan dosa, dan kesetiaan.

Praktik ini terutama dilakukan oleh para samurai yang gagal menjalankan tugas atau melakukan kesalahan fatal, Seppuku menjadi jalan untuk menebus kehormatannya.

Namun, tak banyak yang mengetahui bahwa dalam beberapa kasus, istri samurai juga turut melakukan ritual serupa. Para istri biasanya akan mengakhiri hidup mereka dengan memotong leher, bukan perut, serta mengikat kaki agar jasad terlihat dalam posisi yang bermartabat.

Samurai hidup di era penuh gejolak, di mana kematian bisa datang kapan saja. Kesadaran ini membuat mereka mempersiapkan diri dengan sangat cermat, bahkan hingga ke detail kecil.

Salah satu kebiasaan mereka adalah membakar dupa di dalam helm. Tujuannya agar jika kepala mereka dipenggal, tidak menimbulkan bau tak sedap.

Menjadi bagian dari keluarga samurai bukanlah perkara mudah, terutama bagi perempuan dari kalangan bawah. Jika seorang perempuan ingin menikah dengan samurai, dialah yang harus membayar biaya pernikahan.

Lihat Juga :  Benci Jadi Sumpah Abadi: Ketika Universitas Menyimpan Dendam Selama 500 Tahun

Selain itu, istri samurai juga dituntut menunjukkan kesetiaan mutlak kepada suaminya, bahkan sampai akhir hayat.

Pedang samurai dikenal tajam dan mematikan. Untuk memastikan kualitas senjatanya, dilakukan berbagai uji coba ekstrem. Salah satunya dengan memotong mayat atau bahkan mencobanya pada penjahat hidup.

Pada masa perang, hal ini dianggap penting untuk memastikan keefektifan senjata di medan tempur.

Namun, di balik citra kehormatan, ada sisi gelap dalam kehidupan samurai. Pada masa Sengoku, banyak samurai menguji teknik baru mereka pada warga sipil.

Selama mereka memiliki saksi yang mendukung klaim penghinaan, tindakan membunuh bisa dibenarkan secara sosial. Para pelayan yang selalu setia turut memperkuat pembenaran tersebut.

Lihat Juga :  Ketegangan dan Pertumpahan Darah Hanya Karena Telur di California

Status samurai sangat tergantung pada tuannya. Jika tuannya wafat sebelum pelatihan selesai, mereka menjadi ronin atau samurai tanpa tuan.

Meski kerap digambarkan heroik dalam film, ronin sering dipandang rendah, bahkan disamakan dengan gelandangan.

Beberapa teori menyebut bahwa samurai mungkin keturunan Ainu, kelompok etnis dari Jepang utara. Ciri fisik mereka yang berbeda memperkuat dugaan ini.

Di balik keahlian bertarung, samurai juga dikenal sebagai kaum terpelajar. Hampir seluruhnya mampu membaca dan menulis.

Mereka juga aktif dalam seni seperti puisi, kaligrafi, dan teater. Filosofi hidup mereka mencerminkan “mens sana in corpore sano” — di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.

Jumlah samurai mencapai sekitar dua persen dari populasi Jepang pada puncaknya. Angka ini cukup besar dan turut memicu banyak konflik feodal.

Meski identik dengan katana, samurai juga menggunakan berbagai senjata, termasuk senjata api. Senjata api mulai digunakan setelah dikenalkan oleh bangsa Eropa pada tahun 1543.

Hanya samurai yang diizinkan memiliki senjata hingga pertengahan abad ke-19.

Lihat Juga :  Ketegangan dan Pertumpahan Darah Hanya Karena Telur di California

Samurai memiliki peran besar dalam sejarah Jepang. Awalnya mereka adalah prajurit dari daerah terpencil, namun naik ke puncak kekuasaan pada abad ke-12 dengan terbentuknya sistem shogunat.

Mereka mengabdi kepada daimyo, bangsawan pemilik wilayah, dan menopang kekuasaan shogun di atas kaisar yang hanya simbolis.

Masa kejayaan samurai meredup setelah Restorasi Meiji tahun 1868. Sistem feodal dihapus, dan Jepang memasuki era modern.

Banyak samurai beralih menjadi pejabat atau pengusaha, tetap berpengaruh dalam masyarakat.

Lebih dari itu, nilai-nilai yang mereka anut seperti kehormatan, disiplin, dan moralitas yang terangkum dalam bushido atau ‘jalan pejuang’  akan tetap hidup dan menjadi bagian dari identitas bangsa Jepang hingga kini. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos