TASIKMALAYA | Priangan.com — Tahun ajaran baru 2025/2026 menjadi babak sulit bagi sejumlah sekolah swasta di Kota Tasikmalaya. Salah satunya dialami SMA-SMK Pasundan 2 Tasikmalaya, yang hanya mencatat enam pendaftar hingga awal Juli ini.
Sekolah yang berlokasi di Jalan R.E. Martadinata, Kelurahan Panyingkiran, Kecamatan Indihiang, ini harus bergulat dengan ancaman penurunan jumlah siswa secara drastis.
Kondisi ini cukup kontras dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika jumlah pendaftar bisa mencapai 20 hingga 30 siswa dalam periode yang sama. Kepala Sekolah SMA-SMK Pasundan 2, Darus Darusman, menyebut situasi tersebut sebagai ancaman serius bagi kelangsungan sekolah swasta.
“Kami prihatin. Hingga awal Juli ini, baru enam orang yang mendaftar. Padahal dulu, di waktu yang sama, biasanya sudah puluhan calon siswa masuk,” ujar Darusman saat ditemui wartawan Senin (7/7/2025).
Darusman menilai salah satu penyebab utama lesunya pendaftaran di sekolah swasta adalah kebijakan pemerintah daerah yang memperluas daya tampung sekolah negeri. Surat edaran yang memperbolehkan satu rombongan belajar di sekolah negeri diisi hingga 50 siswa dinilainya menciptakan ketimpangan serius.
“Surat dari Bupati yang memperbolehkan 50 siswa per kelas di sekolah negeri sangat merugikan kami. Ketika negeri diperluas sedemikian rupa, swasta terancam gulung tikar. Ini bukan kompetisi yang adil,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menyayangkan rencana pendirian SMA Negeri 11 yang dianggap justru memperkeruh suasana, alih-alih memperbaiki kualitas pendidikan secara merata.
“Daripada bangun sekolah baru, kenapa tidak maksimalkan saja yang sudah ada? Banyak sekolah swasta yang eksis puluhan tahun dan butuh dukungan,” katanya.
Dengan hanya 46 siswa aktif dari kelas XI dan XII, dan 18 tenaga pengajar tetap, tantangan manajemen sekolah semakin berat. Menyediakan kualitas pendidikan yang layak dengan jumlah murid minim bukan hal mudah.
“Dulu, Pasundan 2 pernah jadi sekolah favorit. Sekarang kondisinya menyedihkan. Kami juga harus memikirkan nasib para guru yang menggantungkan hidup di sini,” ujar Darusman.
Ia juga mengkritik penerapan sistem zonasi dan sekolah penyangga yang dinilainya timpang. Banyak sekolah negeri menerima siswa dari luar zona, sementara sekolah swasta kehilangan potensi siswa dari lingkungan sekitarnya.
“Seharusnya zonasi ditegakkan dengan konsisten. Kalau negeri bisa ambil dari luar zona, lalu apa gunanya sistem penyangga? Ini makin mematikan sekolah swasta,” ucapnya.
Darusman menegaskan bahwa sekolah swasta bukan sekadar pelengkap, tapi bagian penting dari ekosistem pendidikan nasional. Ia berharap pemerintah, baik kota maupun provinsi, mau mengevaluasi kembali arah kebijakan pendidikan yang selama ini dianggap berat sebelah.
“Kami bukan pendatang baru. Kami punya sejarah, kontribusi, dan peran dalam mencerdaskan anak bangsa. Jangan sampai kami terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak berpihak,” pungkasnya. (yna)