MISSOURI | Priangan.com – Kehidupan modern penuh dengan berbagai kemudahan, tetapi sedikit yang dapat menandingi kenyamanan roti tawar yang sudah diiris. Untuk membuat sandwich, kita hanya perlu membuka kemasan dan mengambil beberapa potong roti yang sudah terpotong dengan rapi.
Tidak perlu repot mengeluarkan satu bongkah roti utuh, mencari pisau, dan mengirisnya secara manual yang sering kali menghasilkan potongan tidak rata atau bahkan berantakan. Menariknya, butuh lebih dari dua ribu tahun bagi manusia untuk menemukan inovasi ini.
Pada tahun 1943, Pemerintah Amerika Serikat sempat melarang peredaran roti yang telah diiris. Saat itu, Perang Dunia II sedang berlangsung, dan seperti negara-negara sekutu lainnya, Amerika berupaya menghemat sumber daya demi mendukung upaya perang. Salah satu aspek yang menjadi perhatian utama adalah makanan.
Untuk mengawasi produksi dan distribusi pangan agar memenuhi kebutuhan perang serta masyarakat sipil, dibentuklah War Food Administration. Tugas utamanya adalah mencegah pemborosan makanan.
Claude R. Wickard, yang saat itu menjabat sebagai kepala badan tersebut sekaligus Menteri Pertanian, mengeluarkan kebijakan kontroversial, yaitu melarang roti tawar yang sudah diiris. Alasannya? Roti yang telah diiris dianggap membuat masyarakat mengonsumsi lebih banyak daripada yang seharusnya.
Penemuan roti tawar yang sudah diiris sendiri merupakan hasil inovasi Otto Frederick Rohwedder, seorang dokter mata yang kemudian beralih profesi menjadi pengrajin perhiasan di St. Joseph, Missouri.
Mungkin saat melayani pelanggan wanita di toko perhiasannya, ia sering mendengar keluhan para ibu rumah tangga tentang betapa merepotkannya mengiris roti secara manual.
Sejak tahun 1912, Rohwedder telah memiliki prototipe mesin pemotong roti, tetapi ia masih kesulitan menentukan ketebalan irisan yang ideal. Untuk mengatasi hal ini, ia memasang iklan di beberapa surat kabar besar dan meminta pendapat masyarakat.
Dalam beberapa bulan, lebih dari 30.000 ibu rumah tangga mengirimkan tanggapan mengenai ketebalan irisan yang mereka inginkan. Empat tahun kemudian, Rohwedder menjual bisnis perhiasannya dan menggunakan dana tersebut untuk mendirikan bengkel di sebuah gudang tua guna memproduksi mesin pemotong roti.
Namun, pada tahun 1917, sebuah kebakaran besar melanda bengkel Rohwedder, menghancurkan prototipe mesinnya, ratusan cetak biru, serta ribuan jam kerja kerasnya. Peristiwa ini menghambat upayanya selama sekitar satu dekade.
Akhirnya, pada tahun 1928, Rohwedder berhasil menyempurnakan mesinnya yang tidak hanya dapat mengiris roti tetapi juga membungkusnya dengan rapi.
Pabrik roti pertama yang menggunakan mesin Rohwedder adalah Chillicothe Baking Company di Chillicothe, Missouri. Hanya dalam hitungan minggu, penjualan roti melonjak drastis. Orang-orang Amerika mulai mengonsumsi roti dalam jumlah besar.
Dalam waktu lima tahun, hampir semua pabrik roti ternama di negara itu telah memasang mesin pemotong roti di fasilitas produksi mereka. Hasilnya, 80% dari seluruh roti yang dijual di Amerika sudah dalam bentuk irisan.
Dalam upaya menghemat bahan makanan selama perang, Inggris pernah meluncurkan kampanye di masa Perang Dunia I yang mendorong masyarakat untuk mengurangi konsumsi roti dan menggunakan bahan substitusi dalam pembuatan makanan.
Otoritas setempat bahkan menganjurkan agar orang-orang hanya makan ketika benar-benar lapar dan tidak memberi makan anjing liar.
Salah satu kebijakan yang cukup ekstrem adalah melarang penjualan roti yang baru dipanggang. Roti hanya boleh dijual jika sudah berumur setidaknya 12 jam.
Tujuannya, agar roti menjadi lebih keras dan kurang menggugah selera sehingga orang akan makan lebih sedikit.
Ketika larangan mulai diberlakukan pada 18 Januari 1943, The New York Times menerbitkan pernyataan resmi dari pemerintah yang menyebutkan bahwa roti yang sudah diiris membutuhkan kemasan yang lebih tebal dibandingkan roti utuh agar tidak cepat kering.
Wickard menjelaskan bahwa kemasan yang lebih tebal ini memerlukan kertas lilin, sementara negara sedang berfokus pada perang dan memiliki prioritas yang lebih mendesak daripada mengalokasikan sumber daya untuk produksi kertas lilin.
Jika roti tidak dibungkus dengan kemasan yang lebih baik, ia akan lebih cepat mengering dan berisiko terbuang sia-sia, yang berarti pemborosan gandum.
Meskipun alasan konservasi gandum terdengar masuk akal, kenyataannya saat itu Amerika memiliki cadangan gandum yang melimpah berkat panen yang sangat baik. Bahkan, jika tidak ada panen baru selama dua tahun, cadangan yang ada masih cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Jika bukan karena gandum, mungkin alasan utama larangan tersebut adalah konservasi logam. Mesin pemotong roti terbuat dari baja, dan selama perang, banyak pabrik manufaktur logam menghentikan operasinya agar bahan mentah dapat dialokasikan untuk produksi senjata dan kendaraan tempur.
Namun, produksi mesin pemotong roti sendiri saat itu sudah sangat jarang dilakukan, sehingga dampak pelarangan mesin baru terhadap konservasi logam tidak begitu signifikan. Jika memang tujuan utamanya adalah menghemat logam, pemerintah bisa saja melarang produksi mesin pemotongnya, bukan hasil akhirnya.
Apa pun alasan di balik kebijakan ini, larangan terhadap roti yang sudah diiris terbukti tidak efektif dan tidak bertahan lama. Masyarakat Amerika tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka harus kembali mengiris roti secara manual.
Protes besar-besaran pun terjadi. Salah satu surat protes yang dikirim ke The New York Times datang dari seorang ibu rumah tangga yang mengungkapkan betapa pentingnya roti yang telah diiris bagi kesejahteraan keluarganya.
Ia mengeluhkan bagaimana setiap pagi ia harus mengiris roti untuk sarapan dan bekal makan siang suaminya serta keempat anaknya. Menurutnya, hasil potongannya tidak akan pernah serapi potongan dari pabrik.
Akhirnya, pada 8 Maret 1943, larangan tersebut dicabut. Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan kepada publik, War Production Board mengakui bahwa “penghematan yang diharapkan tidak sebesar yang diperkirakan” dan bahwa persediaan kertas lilin yang dimiliki para pembuat roti masih cukup untuk empat bulan ke depan.
Dengan demikian, rakyat Amerika kembali bisa menikmati kenyamanan roti yang sudah diiris, dan dunia pun menyadari bahwa kemudahan yang tampak sederhana ini ternyata begitu berarti bagi kehidupan sehari-hari. (LSA)