PARIS | Priangan.com – Pada tanggal 28 Juni 1919, dunia menyaksikan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah modern—penandatanganan Perjanjian Versailles di Aula Cermin Istana Versailles, Prancis. Perjanjian ini bukan sekadar dokumen pengikat; ia adalah simbol dari ambisi, konflik, dan masa depan yang dipertaruhkan setelah Perang Dunia I. Namun, seperti benang yang ditarik terlalu kencang, perjanjian ini membawa dampak yang melampaui harapan para pemimpinnya.
Perjanjian ini merupakan hasil dari Konferensi Perdamaian Paris yang digelar pada musim semi 1919, saat dunia masih berduka akibat pandemi influenza yang mematikan. Konferensi tersebut didominasi oleh “Empat Besar”—David Lloyd George (Inggris), Georges Clemenceau (Prancis), Woodrow Wilson (AS), dan Vittorio Orlando (Italia). Sementara itu, Jerman yang menjadi pihak yang kalah hanya bisa menerima nasib tanpa suara dalam proses penyusunan perjanjian.
Ketika delegasi Jerman menerima dokumen akhir, mereka dihadapkan pada kenyataan pahit: hilangnya 10 persen wilayah, pembatasan kekuatan militer hingga hanya 100.000 personel, dan pembayaran reparasi yang fantastis sebesar $33 miliar. Bahkan, mereka harus menerima “klausul rasa bersalah akibat perang,” yang menjadikan Jerman sebagai penyebab utama konflik global tersebut.
Bagi Clemenceau, perdamaian harus memastikan Jerman tidak akan pernah menjadi ancaman lagi. Namun, keputusan-keputusan yang diambil dalam perjanjian ini tidak hanya menghukum, tetapi juga memupus harapan stabilitas di Jerman. Kekacauan ekonomi yang dihasilkan menciptakan ruang bagi ideologi ekstrem untuk tumbuh, termasuk kebangkitan Partai Nazi.
Ekonom Inggris John Maynard Keynes dengan tajam mengkritik perjanjian ini sebagai “tindakan politik yang tidak bijaksana.” Ia memperingatkan bahwa tuntutan reparasi akan menghancurkan ekonomi Jerman dan, pada akhirnya, merusak tatanan internasional. Sejarah membuktikan bahwa prediksi ini tidak jauh dari kenyataan.
Meski keras terhadap Jerman, Perjanjian Versailles lebih lunak dibandingkan dengan Perjanjian Brest-Litovsk yang dipaksakan Jerman terhadap Rusia setahun sebelumnya. Namun, kelonggaran ini tidak cukup untuk mencegah kebencian mendalam yang dirasakan rakyat Jerman.
Ketidakpuasan terhadap ketentuan perjanjian juga melemahkan kepercayaan pada Liga Bangsa-Bangsa, organisasi yang dibentuk untuk mencegah perang di masa depan. Ironisnya, Amerika Serikat, salah satu penggagas utamanya, justru tidak bergabung karena penolakan Senat.
Pada akhirnya, Perjanjian Versailles tidak hanya menutup babak Perang Dunia I tetapi juga membuka jalan menuju konflik berikutnya. Revisi-revisi terhadap perjanjian di tahun-tahun berikutnya lebih banyak menguntungkan Jerman, namun tidak cukup untuk meredam luka yang telah tercipta.
Ketika Adolf Hitler melanggar ketentuan perjanjian dengan memiliterisasi kembali Rhineland pada tahun 1936, Sekutu memilih bungkam, dan kebungkaman ini menjadi pertanda suram dari perang baru yang mengancam.
Perjanjian Versailles adalah cermin dari keinginan manusia untuk menciptakan perdamaian, tetapi juga ketidakmampuan mereka untuk melupakan dendam. Dalam benaknya, dunia berharap bahwa perjanjian ini akan membawa akhir dari konflik, namun kenyataannya, ia hanyalah jeda singkat sebelum badai berikutnya. (mth)