SOUTH DAKOTA | Priangan.com – Sebagian besar orang pasti sudah tak asing dengan empat wajah raksasa yang terpahat di tebing batu Mount Rushmore, South Dakota, Amerika Serikat. Monumen ini menampilkan wajah empat presiden Amerika, yakni George Washington, Thomas Jefferson, Theodore Roosevelt, dan Abraham Lincoln. Di balik megahnya pahatan itu, tersimpan kisah panjang tentang ambisi, kerja keras, dan kontroversi yang mengiringi pembangunannya.
Gagasan untuk membuat monumen besar di wilayah Black Hills pertama kali muncul pada awal 1920-an dari Doane Robinson, seorang sejarawan South Dakota. Ia ingin menarik wisatawan ke daerahnya melalui karya monumental yang menonjolkan kebanggaan nasional. Ide itu menarik perhatian pematung ternama Gutzon Borglum yang kemudian mengembangkan konsepnya menjadi proyek berskala nasional. Borglum menolak gagasan awal yang menampilkan tokoh-tokoh lokal, dan memilih wajah presiden agar monumen ini dapat menggambarkan perjalanan bangsa Amerika.
Pemilihan lokasi jatuh pada Gunung Rushmore yang berada dekat kota kecil Keystone. Batu granit di tebing itu dianggap cukup keras dan kokoh untuk dipahat. Pekerjaan dimulai pada tahun 1927 dan berlangsung hingga 1941. Sekitar 400 pekerja dilibatkan dalam proyek tersebut, menggunakan dinamit untuk membentuk bagian besar batu sebelum dirapikan dengan bor dan pahat. Pekerjaan terhenti pada 31 Oktober 1941, tak lama setelah Gutzon Borglum meninggal dunia. Putranya, Lincoln Borglum, menyelesaikan tahap akhir sebelum proyek dinyatakan selesai.
Keempat presiden yang dipahat di sana dipilih berdasarkan peran besar mereka dalam sejarah Amerika. George Washington mewakili masa kelahiran bangsa, sebagai pemimpin Revolusi Amerika dan presiden pertama negara itu. Thomas Jefferson menggambarkan masa perluasan wilayah dengan pembelian Louisiana yang menggandakan luas Amerika Serikat. Theodore Roosevelt dianggap simbol kemajuan ekonomi dan kekuatan nasional pada era modern, sementara Abraham Lincoln menjadi lambang persatuan yang berhasil menjaga keutuhan negara di tengah Perang Saudara.
Borglum menyebut karyanya sebagai “Shrine of Democracy,” sebuah tugu penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi yang menjadi fondasi Amerika Serikat. Namun di balik kebanggaan nasional itu, Mount Rushmore juga menyimpan luka sejarah bagi masyarakat adat Lakota. Wilayah Black Hills tempat monumen berdiri dulunya dijanjikan kepada mereka melalui Perjanjian Fort Laramie tahun 1868, sebelum akhirnya diambil alih pemerintah setelah ditemukan emas di daerah tersebut. Bagi masyarakat Lakota, pahatan di batu itu menjadi simbol perampasan tanah suci mereka.
Kini, Mount Rushmore menjadi salah satu destinasi wisata paling terkenal di Amerika. Kawasan itu biasa dikunjungi jutaan orang setiap tahun. (wrd)

















