BEIJING | Priangan.com – Para penggemar drama China tempo dulu mungkin sudah tak asing dengan gaya rambut aktor-aktor china yang unik. Bagian depan kepala mereka, botak plontos, sementara bagian belakangnya panjang dan dikucir rapi. Siapa sangka, gaya rambut itu ternyata erat kaitannya dengan sejarah bangsa China itu sendiri.
Gaya rambut tersebut dinamakan taucang. Gaya itu sudah digunakan oleh para pria keturunan China sejak Dinasti Qing berkuasa. Berbeda dengan dinasti-dinasti sebelumnya yang didirikan oleh suku Han, Dinasti Qing didirikan oleh etnis Manchu, yang berasal dari wilayah Timur Laut Tiongkok, sekitar perbatasan dengan Korea.
Keberadaan etnis Manchu yang tidak berasal dari suku Han inilah yang membuat Dinasti Qing memiliki banyak tradisi unik, salah satunya adalah model rambut pria yang dikenal dengan sebutan taucang. Rambut taucang ini memiliki ciri khas dengan bagian depan kepala yang dibotakkan, sementara bagian belakangnya dibiarkan panjang dan diikat menjadi kuncir. Kala itu, kuncir inilah yang menjadi simbol identitas suku Manchuria dan diadopsi secara paksa oleh pemerintah Qing untuk seluruh rakyat Tiongkok.
Pada awalnya, kebiasaan ini muncul sebagai bagian dari tradisi suku Manchu yang berasal dari suku Nujen, salah satu kelompok etnis yang berperan penting dalam sejarah Tiongkok. Suku Nujen sendiri dikenal dengan kehidupan nomaden dan keterampilan berkuda yang luar biasa.
Kebiasaan mengikat rambut bagian belakang menjadi kuncir berawal dari kebutuhan praktis saat berkuda. Dengan membotakkan bagian depan kepala, rambut tidak akan tertiup angin dan mengganggu penglihatan saat menunggang kuda, sedangkan bagian belakang yang panjang diikat agar tetap teratur.
Ketika Dinasti Qing menguasai Tiongkok pada tahun 1644, kaisar pertama dari dinasti ini, Shunzhi, memerintahkan semua orang Tionghoa, terutama suku Han, untuk memotong rambut mereka mengikuti tradisi taucang. Perintah ini bertujuan untuk menegaskan dominasi kekuasaan Manchu dan menandakan bahwa rakyat Tiongkok harus tunduk pada pemerintah baru.
Bagi mereka yang menolak, ancamannya sangat berat, yaitu hukuman mati. Sehingga slogan yang sering terdengar kala itu adalah: “Jika ingin rambut, penggal kepala, jika ingin kepala, penggal rambut.”
Mulanya, kebijakan ini menimbulkan perlawanan yang cukup besar, terutama dari kelompok-kelompok oposisi seperti para biksu Shaolin, yang memilih untuk mencukur habis rambut mereka sebagai simbol penentangan terhadap pemerintahan Qing. Namun, meski ada penentangan, taucang tetap menjadi kewajiban bagi setiap orang Tionghoa yang hidup di bawah kekuasaan Dinasti Qing.
Seiring berjalannya waktu, kebiasaan menggunakan gaya rambut taucang ini tidak hanya bertahan di Tiongkok, tetapi juga menyebar ke luar negeri seiring dengan migrasi orang Tionghoa ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Pada awal abad ke-18 hingga awal abad ke-20, orang Tionghoa peranakan yang datang ke Indonesia tetap mempertahankan gaya rambut ini sebagai bagian dari identitas mereka.
Namun, pasca berakhirnya Dinasti Qing pada tahun 1911, kebiasaan taucang pun mulai menghilang. Setelah revolusi dan berdirinya Republik Tiongkok, taucang perlahan-lahan ditinggalkan, bahkan oleh suku Manchu sendiri. (ersuwa)