JAKARTA | Priangan.com – Tindakan mengucilkan atau menolak secara sukarela untuk berurusan dengan seseorang, organisasi, produk, atau layanan tertentu sebagai bentuk protes telah ada sejak lama dalam sejarah manusia. Namun, istilah “boikot” yang kini lazim digunakan untuk menyebut aksi tersebut, baru muncul pada akhir abad ke-19, dan berakar dari sebuah peristiwa nyata yang melibatkan seorang agen tanah Inggris bernama Charles Cunningham Boycott.
Charles Boycott lahir pada tahun 1832 dengan nama keluarga asli “Boycatt”. Namun, saat usianya sembilan tahun, keluarganya mengubah ejaan nama tersebut menjadi “Boycott” tanpa alasan yang jelas.
Sejak muda, Charles menunjukkan semangat tinggi untuk berkarier di militer. Ia diterima di Akademi Militer Kerajaan di Woolwich pada tahun 1848 dengan harapan bisa bergabung dengan Korps Insinyur Kerajaan. Sayangnya, ia gagal dalam ujian berkala dan akhirnya dikeluarkan. Meski begitu, keluarganya tetap mendorong impiannya dengan membelikannya komisi di Resimen Infanteri ke-39.
Tapi hanya dalam waktu tiga tahun, minat Boycott terhadap dunia militer meredup. Ia mundur dan memilih jalur lain, yaitu menjadi tuan tanah.
Keputusan itu membawanya ke Pulau Achill, lepas pantai County Mayo di Irlandia, pada tahun 1854. Di sana, ia membeli lahan dan memulai kehidupannya sebagai pemilik tanah. Beberapa tahun kemudian, pada 1873, Boycott pindah ke daratan dan menjadi agen tanah bagi Earl of Erne ke-3, seorang bangsawan yang memiliki lebih dari 40.000 hektare tanah tersebar di Irlandia.
Sebagai agen, Boycott bertugas menagih sewa dari para petani penyewa dan mengusir mereka yang gagal membayar. Ia dikenal tegas dan kaku. Sikapnya yang mengabaikan keluhan serta kondisi hidup para penyewa membuatnya tidak disukai. Ia gemar mengenakan denda berlebihan atas pelanggaran kecil, seperti ternak yang masuk ke lahannya atau keterlambatan kerja, bahkan ketika denda itu lebih besar dari upah mereka.
Situasi sosial dan ekonomi di Irlandia saat itu memang sedang memanas. Tahun 1879, seorang tokoh bernama Michael Davitt mendirikan Irish National Land League atau Liga Tanah Nasional Irlandia sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak petani penyewa tanah. Organisasi ini bertujuan menghapus penggusuran dan mengupayakan agar para petani penyewa bisa memiliki tanah yang mereka garap.
Ketegangan memuncak pada September 1880 ketika para penyewa tanah milik Lord Erne meminta keringanan sewa sebesar 25 persen akibat panen buruk. Namun, permintaan itu hanya dijawab dengan potongan 10 persen. Boycott segera menindaklanjuti dengan menagih tunggakan dan mengusir tiga keluarga yang menolak membayar. Tindakan ini memicu kemarahan Land League.
Beberapa hari sebelum peristiwa besar itu terjadi, Charles Stewart Parnell yang merupakan seorang anggota parlemen sekaligus pemimpin Land League, menyampaikan pidato yang menggugah. Ia menganjurkan pengucilan sosial terhadap siapa pun yang mendukung sistem penggusuran, bahkan menyamakannya dengan perlakuan terhadap penderita kusta.
Tak lama kemudian, seluruh komunitas di sekitar tempat tinggal Boycott menerapkan gagasan itu. Boycott dijauhi oleh semua orang. Tak ada yang mau bekerja untuknya, berdagang dengannya, bahkan menyapanya. Tukang pos berhenti mengantarkan surat, tukang cuci berhenti melayani, dan pandai besi diancam jika terus memperbaiki alat-alat milik Boycott. Ia benar-benar terisolasi.
Kondisinya yang memburuk membuat Boycott menulis surat kepada The Times di London. Dalam suratnya, ia menceritakan bagaimana ia dan keluarganya hidup dalam ketakutan dan keterasingan. Hasil panennya rusak, gerbang rumahnya dirusak, ternaknya dilepas ke jalan, dan tak ada bantuan yang datang.
Ketika situasi sudah sangat genting, sejumlah simpatisan dari Belfast dan Dublin mengumpulkan dana untuk membantunya. Mereka mengorganisasi lima puluh buruh untuk membantu memanen lahannya. Demi keamanan, pemerintah mengerahkan sekitar sembilan ratus tentara untuk mengawal operasi itu.
Selama dua minggu, pasukan tinggal di tanah Boycott, menggunakan sumber dayanya, bahkan merusak sebagian besar propertinya. Ironisnya, upaya itu menelan biaya hingga £10.000 hanya demi menyelamatkan hasil panen senilai sekitar £350.
Insiden ini menarik perhatian besar, tidak hanya di Irlandia dan Inggris, tapi juga di dunia berbahasa Inggris lainnya. Muncullah istilah baru untuk menggambarkan tindakan pengucilan terorganisir yang dialami Boycott, yaitu “boycotting”.
Menurut laporan jurnalis James Redpath, kata ini pertama kali diusulkan oleh seorang pastor setempat bernama Father O’Malley yang mencari istilah baru karena merasa “pengucilan sosial” tidak cukup kuat untuk menggambarkan apa yang terjadi. Ketika Redpath menyarankan penggunaan nama “Boycott” sebagai kata kerja, O’Malley menyetujui ide itu, dan istilah itu pun menyebar dengan cepat.
Kata “boikot” segera muncul di berbagai surat kabar dan bahkan menjadi kata kerja aktif yang digunakan secara luas. The Illustrated London News menyebut bahwa kata tersebut kini berarti mengintimidasi, mengucilkan, dan menolak berinteraksi sebagai bentuk perlawanan.
Pada tahun 1888, kata boycott resmi masuk dalam A New English Dictionary, cikal bakal dari Oxford English Dictionary. Tak butuh waktu lama, istilah ini diadopsi ke berbagai bahasa lain yang juga tak memiliki padanan kata serupa. Bahkan di Amerika Serikat, sebuah serikat buruh di Kansas sempat menerbitkan surat kabar mingguan bernama The Boycotter untuk mendukung perjuangan hak-hak pekerja.
Sementara itu, Charles Boycott, yang namanya kini mewakili sebuah tindakan perlawanan sosial, meninggalkan Irlandia dalam diam. Ia menetap di Flixton, Suffolk, dan kembali bekerja sebagai agen tanah. Dalam sebuah kunjungan ke Amerika, ia bahkan sempat menyembunyikan identitas aslinya dan hanya mendaftarkan diri sebagai “Charles Cunningham.”
Namun, wartawan tetap berhasil mengendus keberadaannya. New York Tribune mencatat bahwa kedatangannya di AS adalah peristiwa yang menarik perhatian, sebab ia secara tidak sengaja telah memberikan satu kata baru ke dalam bahasa dunia.
Charles Boycott wafat pada tahun 1897. Meski hidupnya berakhir dalam ketenangan, namanya abadi dalam sejarah sebagai simbol dari tindakan pengucilan kolektif yang kini dikenal di seluruh dunia. (LSA)