Saat Langit Mengirim Pesan: Stasiun Radio Malabar dan Kisah yang Tersisa di Udara

BANDUNG | Priangan.com – Pada masa kolonial Belanda, radio menjadi salah satu penemuan paling revolusioner yang mengubah cara manusia berkomunikasi jarak jauh. Di tengah keterbatasan sarana komunikasi kala itu, gelombang radio menghadirkan keajaiban baru, sebab pesan dapat dikirim tanpa kabel, melintasi benua dan samudra. Dari antara berbagai stasiun yang berdiri di Hindia Belanda, terdapat satu yang menjadi tonggak penting dalam sejarah telekomunikasi dunia, Stasiun Radio Malabar, sebuah proyek raksasa yang pernah diakui sebagai stasiun radio terbesar di Asia Tenggara pada masanya.

Terletak di Lembah Gunung Puntang, Bandung, stasiun ini diberi nama sesuai daerah tempatnya berdiri, Malabar. Di sinilah sejarah komunikasi nirkabel antara Indonesia dan Belanda pertama kali menemukan momentumnya. Dilansir dari Good News From Indonesia, gagasan besar ini lahir dari tangan seorang insinyur brilian bernama Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot, yang bekerja di Departemen Pos, Telepon, dan Telegraf (PTT). Bersama dua rekannya, Willem Vogt dan Klaas Dijkstra, de Groot mulai merintis proyek ambisius ini sejak awal abad ke-20. Mereka bertekad membangun sistem pemancar yang mampu menembus jarak ribuan kilometer, sesuatu yang kala itu dianggap hampir mustahil.

Proyek pembangunan Stasiun Radio Malabar dimulai sekitar tahun 1916 dan berlangsung hingga 1923. Di tengah kondisi alam pegunungan yang terpencil, para teknisi Belanda harus berhadapan dengan berbagai tantangan teknis. Mereka melakukan serangkaian percobaan, dari pemasangan antena raksasa hingga pengujian lampu busur sebagai alat pemancar. Teknologi yang digunakan pada masa itu termasuk sangat canggih: pemancar lampu busur mampu mengirimkan sinyal telegraf tanpa kabel, memungkinkan komunikasi antara kapal dan daratan, juga antarstasiun radio di berbagai wilayah Hindia Belanda.

Lihat Juga :  Kongō Gumi, Perusahaan Tertua di Dunia yang Bertahan Lebih dari 14 Abad

Kesulitan lain muncul dari kebutuhan energi. Karena lokasi stasiun jauh dari pusat kota, de Groot merancang sistem pembangkit listrik tersendiri dengan dukungan dinamo berkapasitas 600 volt yang dikirim dari Batavia.

Semua perencanaan itu membuahkan hasil luar biasa. Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya sinyal radio dari Stasiun Radio Kootwijk di Belanda berhasil diterima di Hindia Belanda melalui Stasiun Radio Tjangkring, yang berfungsi sebagai stasiun penerima. Pesan yang dikirim dengan panjang gelombang 8.400 meter itu menandai sejarah baru dalam dunia komunikasi global, pesan telegraf dapat diterima 24 jam lebih cepat dibandingkan pesan yang dikirim melalui kabel laut.

Stasiun Radio Malabar kemudian berperan sebagai jantung komunikasi Hindia Belanda. Dari sinilah berbagai pesan penting dikirim dan diterima setiap harinya, seperti laporan ekonomi, situasi politik, berita cuaca, hingga komunikasi militer. Bahkan kapal selam Belanda, K XVIII, disebut menerima informasi dari Malabar. Semua pesan itu disampaikan dalam bahasa Belanda atau Inggris, dan sebagian besar dikodekan demi keamanan informasi.

Lihat Juga :  Kisah Kapal SS Vaitarna, Kapal yang Menghadapi Takdir Titanic di Laut Arab

Puncak kejayaan Stasiun Radio Malabar terjadi pada 7 Januari 1929, ketika pemerintah Belanda secara resmi membuka jalur komunikasi antara Kootwijk dan Malabar untuk masyarakat umum. Hari itu menjadi momen bersejarah, Ratu Wilhelmina membuka sambungan udara dengan sapaan legendaris: “Hallo Bandung! Hallo Bandung! Hoort u mij? Dit is Den Haag!” (“Halo Bandung! Halo Bandung! Apakah kamu mendengarku? Ini Den Haag!”). Suara sang ratu yang menembus jarak belasan ribu kilometer menggema di tanah Jawa, menjadi simbol kemajuan teknologi dan ikatan kolonial antara dua negeri yang berjauhan.

Namun, masa keemasan itu tidak berlangsung lama. Ketika Perang Dunia II meletus, perkembangan teknologi komunikasi di Hindia Belanda terganggu parah. Kekurangan tenaga ahli dan kerusakan infrastruktur menyebabkan aktivitas Stasiun Radio Malabar menurun drastis. Situasi semakin memburuk ketika Jepang datang pada tahun 1942 dan merebut wilayah Hindia Belanda. Stasiun Radio Malabar jatuh ke tangan pasukan Jepang dan dialihfungsikan menjadi stasiun militer untuk kepentingan komunikasi perang mereka.

Lihat Juga :  Sukitman, Saksi Kunci Tragedi G30SPKI yang Terlupakan

Setelah Jepang kalah dalam Perang Pasifik tahun 1945, kekuasaan di Indonesia mengalami kekosongan. Pada masa inilah para pemuda dari Dinas Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT) Indonesia merebut kembali Stasiun Radio Malabar. Mereka mengambil alih kendali dan berusaha mengelola fasilitas itu secara mandiri, menjadikannya simbol kebangkitan kemampuan teknis bangsa yang baru merdeka.

Sayangnya, nasib Stasiun Radio Malabar berakhir tragis. Setelah proklamasi kemerdekaan, masyarakat setempat memutuskan untuk menghancurkan stasiun tersebut agar tidak dapat digunakan kembali oleh Belanda dalam upaya Agresi Militer. Keputusan itu diambil bukan karena kebencian terhadap teknologi, melainkan sebagai bentuk perlawanan terhadap kemungkinan penjajahan yang kembali.

Kini, Stasiun Radio Malabar memang tidak lagi berfungsi. Reruntuhannya tersisa sebagai saksi bisu sejarah, tersembunyi di antara pepohonan Gunung Puntang. Namun jejak kejayaannya tetap hidup dalam ingatan. Stasiun ini tidak hanya menjadi bukti kemajuan teknologi kolonial, tetapi juga simbol perjuangan dan transisi menuju kemandirian bangsa.

Pemerintah dan masyarakat Jawa Barat berupaya menjaga peninggalan ini, melihatnya sebagai potensi wisata sejarah yang sarat makna, tempat di mana suara pertama dari Belanda pernah menembus langit Nusantara, membawa pesan yang kini bergema sebagai bagian dari perjalanan panjang Indonesia menuju kemerdekaan. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos