Runtuhnya Hotel Penuh Kemegahan, Saksi Bisunya Sejarah Batavia

JAKARTA | Priangan.com – Dahulu, Batavia memiliki sebuah hotel dengan standar internasional yang mengagumkan: bernama Hotel des Indes. Bangunannya yang megah, pelayanan mewah, dan hidangan rijsttafel yang tersohor membuatnya menjadi magnet bagi para pelancong, ilmuwan, penulis, dan kepala negara dari berbagai belahan dunia.

Namun, di balik kemewahan dan statusnya yang prestisius, hotel ini tak mampu bertahan menghadapi arus perubahan zaman. Pada awal 1970-an, bangunan bersejarah itu akhirnya dibongkar, digantikan oleh kawasan pertokoan modern yang kini dikenal sebagai Duta Merlin.

Sejarah Hotel des Indes berakar jauh sebelum namanya dikenal luas. Seperti dilansir dari National Geographic Indonesia, pada pertengahan abad ke-18, tanah tempat hotel berdiri masih terbagi dalam beberapa kavling, dimiliki oleh pejabat dan warga Eropa. Hingga pada 1829, seorang Prancis bernama Surleon Antoine Chaulan mendirikan Hotel de Provence, mengambil nama dari daerah asal keluarganya. Kakaknya, Etienne Chaulan, kemudian memperluas lahan dan bangunan hotel.

Pada 1851, manajemen Cornelis Denninghoff mengubah namanya menjadi Hotel Rotterdam, sebelum akhirnya François Auguste Emile Wyss membeli hotel ini pada 1852. Atas saran penulis satir terkenal Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, nama Hotel Rotterdam diganti menjadi Hotel des Indes pada 1 Mei 1856, mengembalikan nuansa Prancis yang elegan dan lebih menjual bagi elite Batavia saat itu.

Keanggunan hotel menjadi sorotan internasional. Alfred Russel Wallace, ilmuwan asal Inggris, memuji kenyamanan kamar dan hidangan rijsttafel yang mewah. John T. McCutcheon bahkan menulis pada 1910 bahwa dibandingkan Hotel des Indes, semua hotel lain di Asia berada di bawahnya. Hidangan rijsttafel di sini tersaji dengan tata cara megah: 24 pelayan membawa 57 lauk berbeda, membentuk pemandangan yang lebih mirip upacara ketimbang makan siang biasa.

Lihat Juga :  Mas Marco dan Tulisannya yang Mengubah Pers Jadi Senjata

Meski begitu, hotel ini juga menyimpan sisi kelam, termasuk kasus bunuh diri tamu yang tercatat di koran Java-bode pada 1857, menegaskan bahwa kemewahan selalu memiliki lapisan gelapnya sendiri.

Selain menjadi simbol kemewahan, Hotel des Indes menjadi saksi sejarah bangsa. Pada masa Hindia Belanda, hotel ini kerap dipakai untuk jamuan resmi. Setelah Indonesia merdeka, hotel ini tetap menjadi lokasi perjamuan kenegaraan, termasuk menampung delegasi Konferensi Asia-Afrika 1955, meski konferensi berlangsung di Bandung. Pada 1949, perundingan Roem-Royen yang menentukan pengakuan kedaulatan Indonesia juga digelar di hotel ini, menegaskan perannya sebagai saksi bisu diplomasi penting.

Lihat Juga :  Kisah Heroik Achmad Soebardjo; Gadaikan Nyawa Demi Terselenggaranya Proklamasi

Namun, kejayaan Hotel des Indes perlahan memudar. Setelah berganti nama menjadi Hotel Duta Indonesia pada 1960, hotel ini kalah bersaing dengan Hotel Indonesia yang lebih modern. Penurunan pendapatan dan tekanan ekonomi akhirnya membuat pemerintah membongkar hotel tersebut pada 1971, digantikan oleh pertokoan Duta Merlin yang diresmikan pada 1976.

Beberapa pihak menilai pembongkaran itu dimaksudkan untuk menghapus simbol kolonialisme, sementara sebagian lain menekankan kepentingan pembangunan pusat perbelanjaan modern.

Meski fisiknya telah hilang, kisah Hotel des Indes tetap hidup dalam arsip, foto, dan cerita mereka yang pernah singgah. Dari kopi pagi di beranda hingga meja perjamuan diplomatik, hotel ini meninggalkan jejak yang memperkaya narasi sejarah Jakarta. Kejayaannya telah sirna, tetapi memorinya tetap menjadi pengingat bagaimana kota ini dibentuk dari kemewahan, intrik, dan peristiwa penting yang tak lekang oleh waktu. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos