TASIKMALAYA | Priangan.com – Pemerintah Kota Tasikmalaya kembali menuai sorotan setelah dalam dokumen resmi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025 tercatat adanya alokasi dana sebesar Rp124.899.000 untuk perjalanan dinas luar negeri. Anggaran itu termuat jelas dalam Ringkasan Penjabaran APBD yang diklasifikasi menurut kelompok, jenis, objek, rincian objek pendapatan, belanja, dan pembiayaan.
Di tengah kondisi daerah yang masih menghadapi persoalan kemiskinan, pelayanan dasar yang belum optimal, hingga defisit infrastruktur, munculnya anggaran perjalanan dinas luar negeri langsung memantik tanda tanya publik: siapa yang akan berangkat, untuk kepentingan apa, dan seberapa mendesak kebutuhan itu?
Walikota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan, buru-buru memberi klarifikasi. Ia menegaskan, sejauh ini tidak ada agenda perjalanan ke luar negeri dalam waktu dekat. “Jangan dululah, kita prihatin dulu. Lebih baik fokus pada hal yang bermanfaat untuk masyarakat. Tahun ini belum ada agenda ke luar negeri,” kata Viman, Jumat (26/9/2025).
Meski demikian, fakta bahwa anggaran sudah disiapkan tetap menimbulkan pertanyaan. Apalagi jumlahnya terbilang besar, sementara pos belanja langsung yang menyentuh masyarakat sering kali terbatas.
Pengamat kebijakan publik, Rico Ibrahim, menilai kebijakan penyusunan anggaran ini tidak sensitif terhadap kondisi riil warga. Menurutnya, alokasi perjalanan dinas luar negeri tanpa kejelasan agenda hanya akan memicu kecurigaan publik bahwa APBD dijadikan ruang kompromi untuk kepentingan elite birokrasi.
“Kalau Walikota sendiri sudah bilang belum ada agenda, kenapa harus dianggarkan? Ini memperlihatkan lemahnya perencanaan dan orientasi APBD. Anggaran seperti ini rawan jadi bancakan, sementara kebutuhan masyarakat kecil sering kali diabaikan,” tegas Rico.
Ia menambahkan, transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan. Pemkot wajib menjelaskan apakah dana tersebut akan tetap mengendap, dialihkan, atau justru tetap digunakan dengan alasan tertentu. “Kalau memang tidak ada urgensi, lebih baik dipangkas dan dialihkan ke sektor yang lebih prioritas, misalnya pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi rakyat,” tambahnya.
Sorotan publik terhadap pos perjalanan luar negeri ini semakin relevan ketika dibandingkan dengan minimnya anggaran untuk bantuan sosial maupun program langsung yang menyentuh warga miskin. Rico menilai hal itu menunjukkan adanya ketimpangan orientasi pembangunan daerah.
“Di satu sisi, pemerintah bisa menyiapkan ratusan juta untuk perjalanan keluar negeri yang tidak jelas, tapi di sisi lain rakyat masih kesulitan akses pelayanan dasar. Ini yang harus dikoreksi,” pungkasnya. (yna)