JAKARTA | Priangan.com – Cinta yang penuh liku dan drama. Begitu kira-kira kalimat yang cocok untuk menggambarkan kisah percintaan yang terjadi antara Sutan Sjahir, salah satu pahlawan nasional Indonesia, dengan kekasihnya, Maria Duchateau.
Keduanya dipertemukan oleh unsur ketidaksengajaan. Kala itu, sosok yang akrab disapa Bung Kecil ini tengah menimba ilmu di Universitas Amsterdam, Belanda. Ia kebingungan mencari tempat tinggal. Itu karena ia mulai hidup sebatang kara di negeri kincir angin setelah kakak perempuannya memutuskan untuk pulang ke Indonesia lantaran suaminya sudah menyelesaikan gelar diploma.
Sjahir kemudian menghubungi salah satu rekannya, Salomon Tas, anak seorang tukang roti dan ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat. Ia pun tinggal di rumah Salomon yang letaknya tidak jauh dari Universitas Amsterdam. Rumah kecil itu ternyata tidak hanya dihuni oleh Salomon, tetapi juga oleh Maria, yang saat itu sudah menjadi istri sah Salomon, serta Judith Van Wamel, seorang teman Maria.
Selama tinggal di rumah temannya inilah Bung Kecil mulai menyukai Maria dan jatuh hati padanya. Meski begitu, hubungan percintaan mereka baru berkembang setelah rumah tangga Maria dengan Salomon merenggang. Apalagi, saat itu, Salomon ketahuan terlibat asmara dengan Judith, membuat Maria semakin yakin bahwa rumah tangganya tak akan bertahan lama. Ia pun memutuskan untuk terlibat hubungan lebih dalam dengan Sjahir.
Sayangnya, tepat pada bulan November tahun 1931, Bung Kecil terpaksa harus kembali ke tanah air. Perjuangan politik mendesaknya untuk meninggalkan Maria di tanah Belanda. Kendati begitu, hubungan mereka tetap berjalan dan melakukan komunikasi dengan berkirim surat.
Setahun berikutnya, tepat pada bulan April 1932, Maria memutuskan pergi ke Indonesia untuk menemui Sjahir. Mendengar kabar tersebut, Sjahir semringah. Tak berpikir panjang, Sjahir yang pada saat itu berada di Jakarta, langsung pergi ke Medan untuk menjemput Maria di pelabuhan. Keduanya tercatat melangsungkan pernikahan di sebuah masjid di Medan pada 10 April 1932.
Sayangnya, meski telah menikah, berbagai ujian tiada hentinya menyelimuti hubungan mereka berdua. Pernikahan kalangan pribumi dengan seorang wanita kulit putih waktu itu masih dianggap tabu. Hubungan Sjahrir dan Maria pun berhasil membuat gerah orang-orang Eropa yang rasis. Mereka kemudian mendesak pemerintah kolonial agar menyikapi hubungan dua ras berbeda itu.
Sampai akhirnya, munculah anggapan bahwa Maria belum resmi bercerai dengan suami pertamanya, Salomon. Hal ini pun dijadikan senjata untuk memisahkan mereka berdua. Setelah muncul kontrovesi tersebut, pemerintah kolonial pun pada saat itu mendeportasi Maria ke negara asalnya, Belanda.
Kendati demikian, mereka berdua tetap berupaya untuk mempertahankan hubungannya. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya berbagai upaya yang dilakukan oleh Maria agar bisa kembali ke Indonesia. Salah satunya adalah mengirimkan surat kepada Ratu Belanda. Namun, sayangnya kala itu Ratu Belanda menolak permintaan tersebut.
Hal serupa dilakukan oleh Sjahir. Demi bisa bertemu kekasihnya itu, ia membeli sebuah tiket kapal SS Aramis untuk pergi ke Belanda. Sayangnya, upaya ini lagi-lagi tidak membuahkan hasil. Sjahir malah ditangkap oleh pemerintah kolonial dan dipenjara di Cipinang sebelum akhirnya diasingkan ke Boven Digul. Sejak saat itulah, hubungan mereka berdua berangsur renggang.
Setelah lima belas tahun berlalu, Sjahir baru bisa bertemu lagi dengan Maria pada tahun 1947. Pertemuan mereka terjadi di bandara New Delhi tepat ketika Sjahir sudah menyandang status sebagai Perdana Menteri Indonesia dan melakukan kunjungan kenegaraan ke India. Sayangnya, kala itu mereka sepakat untuk tidak melanjutkan hubungannya. Sebagai bentuk perpisahan, Sjahir pun pada saat itu sempat mencium kedua pipi Maria.
Tepat pada bulan Mei 1951, Sutan Sjahir akhirnya meminang cinta sejatinya, Siti Wahyunah Saleh. Perempuan yang akrab disapa Poppy itu terpaut umur 11 tahun lebih muda dari Sjahrir. Sejak pernikahannya itu, Poppy jadi satu-satunya wanita yang menemani Sjahir hingga akhir hayatnya.
Berbicara soal hubungan Sjahir dengan Maria, ada satu surat yang sampai saat ini terkenang di benak hati banyak orang. Surat itu berisi tulisan tangan Sutan Sjahir yang ditujukan kepada Maria pada saat dirinya terlibat hubungan jarak jauh. Tulisan tersebut berbahasa Belanda, tetapi jika diterjemahkan menjadi:
Tanahmerah 30-5-‘35
Mieske,
Pelan pelan aku membaca suratmu lagi beberapa kali. Di dalamnya ada begitu banyak yang aku sukai, khususnya dalam fragmen-fragmen yang pesimistis. Aku memahami semua dengan begitu baik. Aku tahu kenapa dan bagaimana Anda menuliskannya. Aku tahu semua dan itu membangkitkan banyak kenang-kenangan di dalam diriku. Baik yang pahit maupun yang manis. Itu membuatku melamun dan berpikir, semua begitu menyenangkan bagiku. Aku merasa jadi lebih baik, lebih murni, merdeka, terangkat dari semua hal manusiawi yang sepele.
Di dalam diri kita begitu banyak hal sepele, begitu banyak kebodohan dan piciknya pandangan. Aku terkejut melihat itu ada di dalam diriku sendiri. Sepertinya, aku kira, ketenangan dan kedamaian telah direbut oleh penjara untuk selamanya. Di mana perasaan lega yang nyaman, pasrah menerima, kekuatan karena keteguhan, kesejatian, semua sirna saat pintu-pintu penjara di belakangku ditutup. Anda sudah bisa mengetahui itu semua dari surat-surat yang dikirimkan melalui kapal bahwa ketenanganku hilang. Sampai sekarang saya belum menemukannya lagi. Di tengah orang-orang, keramaian, keresahan, kedangkalan dan di dalam kesendirian kesunyian dan renungan.
Sekarang di antara orang-orang yang berbicara, bertindak, membuat kesalahan, ragu-ragu, ada ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Di bulan-bulan yang lalu aku memaksakan diri untuk konsentrasi berpikir, untuk memikirkan secara terus menerus. Walaupun saat ini keadaan belum cocok untuk aku memulai untuk belajar lagi. Aku mencoba bersikeras melepaskan diri dari semua kekhawatiran atas soal sehari-hari yang sepele, mengkhawatirkan keuangan dan mengkhawatirkan makanan, melepaskan diri dari lingkungan yang menegangkan. Tetapi aku tidak berhasil dengan baik.
Studiku tidak berkembang pesat, terlalu sering merasa lesu, sangat terganggu cuaca dan terlalu sering membiarkan diri dipengaruhi lingkungan. Di mana penguasaan diri, ketenteraman jiwa yang selalu ada selama ini hilang, Mieske. Namun hari ini, malam ini, aku merasakan begitu tajam. Suratmu, dengan sendirinya, membuatku jadi berpikir, melamun, menarik aku dari keadaan sekitar, membersihkan aku dari semua hal sepele yang ada. Malam ini aku merasa tenang lagi, sayang. Seperti keadaan aku sekarang, sebagaimana juga perasaanku sekarang, aku tak bisa lagi menampik apa yang Anda sebut sebagai “inti yang paling dalam yang kita miliki”, itu dia Mieske, yang bisa berbicara dari suratmu, membersihkan serta menggerakkan aku.
Apa yang aku tak temukan di dalam studiku, apa yang tak kutemukan di dalam filsafat, aku temukan pada dirimu, pada surat-suratmu. Anda mengerti, kan, Mieske? Karena itu, yang Anda tulis tidak benar, Mieske, bahwa kau bilang “ada kegagalan di seluruh lini hidup kita”. Ini milik kita, ini akan mengarahkan dan menentukan hidup kita, dan itu bukan salah, tak bisa jadi salah selamanya, karena ini adalah hal yang memberi makna kepada diri kita dalam hidup ini. Biarpun kekecewaanmu, penderitaanmu, ucapan pahitmu, saya membaca itu semua di suratmu, karena itu saya tidak perlu membahas semua ucapan pahitmu secara tersendiri.
Istriku, pada akhirnya kita tahu bahwa kita berada dalam titik saling mengerti sepenuhnya. Dan hanya kita bisa saling memahaminya. Aku mengalami itu setiap hari. Kadang-kadang aku merasa bahwa sesama buangan, sampai sahabat yang paling dekat pun, tidak bisa menyelami perasaanku. Di sini aku merasa lebih banyak kesepian dan sendiri, melebihi kesendirian di dalam sel penjara itu sendiri. Di dalam pikiranku, aku selalu membutuhkanmu untuk menguji pikiran dan tindakanku, untuk berunding, untuk berbagi perasaan, aku membutuhkan surat-suratmu untuk bertahan dan mengangkat diri ini saat hampir tengelam dalam soal-soal yang sepele. Kau tahu semua itu toh, Mieske?
Dan apa selain esensi yang mengkristal dari semua yang kita miliki, dari semua usaha dan berpetualangnya kita, dari semua suka dan duka yang Anda sebut adalah “inti yang paling dalam yang kita miliki”. Apa yang menjadi dorongan semangat di dalam hidup sebagai buangan ini, juga tidak bisa hanya berarti penderitaan dan kemalangan dalam hidupmu, ataukah aku salah paham, Mieske?
Karena itu suratmu begitu sangat berarti buatku, aku harap Anda mampu menulisnya secara teratur kepadaku, supaya aku bisa menerima sesuatu setiap kali kapal datang berlabuh, dan itu artinya setiap sekali dalam tiga minggu sekarang. Kehidupanku di antara orang buangan keadaannya jauh lebih berat daripada di dalam sel isolasi di penjara. Di sini, sekarang aku lebih membutuhkanmu dan membutuhkan surat-suratmu jauh lebih banyak daripada di dalam penjara. Saat itulah pikirin saya dengan sendirinya bersama kalian, seandainya saya selalu sibuk pun selalu merasa dengan kalian, berada bersama kalian. Sekarang selalu ada manusia di sekitar saya yang bicara, terus berbicara, yang mengalihkan saya, tetapi tetap meninggalkan saya dalam kesepian…. (ldy)