Historia

Revolusi Wig yang Mengubah Tren Mode Bangsawan

Pelanggan mencoba wig di tempat pangkas rambut dalam ukiran abad ke-18 karya Thomas Rowlandson. | Wellcome Collection.

JAKARTA | Priangan.com – Rambut telah lama menjadi simbol status, kekuasaan, dan mode. Sepanjang sejarah, orang-orang dari berbagai budaya telah mencari cara untuk mempercantik rambut mereka. Salah satu inovasi yang bertahan lama adalah wig. Fungsinya tidak hanya sebagai aksesori, tetapi juga sebagai pernyataan sosial.

Wig bukan merupakan inovasi yang diciptakan seorang individu, namun wig sudah ada sejak peradaban Mesir kuno. Para bangsawan menggunakan wig untuk melindungi kepala dari terik matahari serta sebagai simbol status. Beberapa wig bahkan ditemukan dalam makam kuno, tersimpan bersama barang pribadi pemiliknya.

Sedangkan di Yunani kuno, wig menjadi bagian penting dalam dunia teater. Ini digunakan oleh para aktor untuk memperjelas peran mereka.

Namun, penggunaan wig mengalami kemunduran di Abad Pertengahan. Gereja menentang pemakaian rambut palsu, mendorong masyarakat untuk memilih gaya rambut sederhana.

Keadaan berubah drastis ketika Ratu Elizabeth I dari Inggris naik takhta pada abad ke-16. Ratu Elizabeth I mengalami kerontokan rambut yang signifikan seiring bertambahnya usia, kemungkinan akibat stres, penyakit, atau penggunaan zat berbahaya dalam kosmetik saat itu, seperti timbal dalam riasan wajahnya.

Demi menyembunyikan kebotakannya, ia mengoleksi lebih dari 80 wig merah, yang kemudian menjadi tren di kalangan bangsawan. Dari sinilah istilah “periwig” yang berasal dari bahasa Prancis yaitu “perruque” mulai populer.

Pada abad ke-17, Prancis menjadi pusat mode di Eropa, termasuk dalam hal wig. Louis XIII, yang mengalami kebotakan dini, mulai memakai wig untuk mempertahankan citra sebagai raja yang berwibawa. Tren ini segera diikuti oleh kaum bangsawan, menjadikan wig sebagai simbol status dan kekuasaan.

Putranya, Louis XIV, kemudian membawa tren ini ke tingkat yang lebih tinggi. Ia memiliki rambut panjang bergelombang yang menjadi ciri khasnya, tetapi seiring waktu, seperti halnya Ratu Elizabeth I, ia mulai mengalami kerontokan.

Tonton Juga :  Bukan Rupiah, Mata Uang Pertama yang Digunakan di Tanah Air adalah Gulden

Untuk mempertahankan penampilannya, ia mulai mengenakan wig besar yang dibuat khusus oleh tukang cukurnya, Benoît Binet. Wig ini dibuat dengan teknik rumit, menggunakan helaian rambut yang diikat ke benang sutra untuk menciptakan efek alami. Dibutuhkan sekitar 10 helai rambut manusia untuk satu wig.

Dominasi Prancis dalam dunia mode membuat tren ini menyebar ke seluruh Eropa. Madrid, yang sebelumnya menjadi pusat mode dengan pakaian gelap dan elegan, mulai kehilangan pengaruhnya. Paris pun muncul sebagai kiblat mode baru, dan wig menjadi aksesori wajib bagi kaum elite.

Ketika Raja Charles II kembali ke Inggris setelah pengasingan di Prancis pada tahun 1660, ia membawa serta tren wig besar. Berbeda dengan Louis XIV yang memakai wig untuk menutupi kebotakan, Charles menggunakannya untuk menyembunyikan rambutnya yang mulai beruban.

Pada masa ini, istilah “bigwig” mulai digunakan, merujuk pada para bangsawan yang mengenakan wig besar dan mahal sebagai tanda kekuasaan. Harga satu wig bisa mencapai 800 shilling, yang jika disesuaikan dengan inflasi, setara dengan sekitar £8.000 atau $10.000 saat ini.

Dari zaman kuno hingga era modern, wig terus mengalami perkembangan. Kini, wig tidak hanya digunakan sebagai simbol status, tetapi juga dalam dunia hiburan, peragaan busana, bahkan oleh pengacara dan hakim di beberapa negara. Warisan mode dari Louis XIV membuktikan bahwa tren fesyen selalu berulang dalam berbagai bentuk dan gaya. (LSA)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: