JAKARTA | Priangan.com – Sejak 2020, hubungan antara Indonesia dan Belanda semakin dihiasi dengan diskusi panjang mengenai repatriasi benda-benda seni dan sejarah yang dijarah pada masa kolonial. Pengembalian karya-karya seni yang diambil oleh penjajah Belanda dari Indonesia selama era kolonialisme, merupakan sebuah isu yang telah memicu perdebatan internasional tentang keadilan dan hak atas warisan budaya. Namun, sebuah pertanyaan yang menarik muncul: apakah Indonesia juga harus mengembalikan karya seni yang berasal dari Belanda dan kini berada di museum-museum atau menjadi koleksi pemerintahan Indonesia?
Pertanyaan ini dilontarkan oleh Louis Zweers, seorang sejarawan seni dan wartawan senior Belanda, dalam sebuah artikel yang diterbitkan di NRC Handelsblad pada 6 Desember 2024. Dalam tulisannya, Zweers menyoroti kenyataan bahwa beberapa karya seni milik seniman Belanda dari masa lalu masih dipajang di berbagai tempat di Indonesia. Salah satunya adalah koleksi seni dari pelukis Belanda yang terkenal, seperti Willem Gerrard “Wim” Hofker, yang karyanya ditemukan di sejumlah lokasi, termasuk Istana Kepresidenan Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), banyak orang Eropa, khususnya dari Belanda, yang menjadi korban pemindahan paksa ke kamp-kamp interniran. Salah satu yang paling terdampak adalah seniman dan kolektor seni yang kehilangan harta benda mereka selama periode tersebut.
Namun, peristiwa penjarahan tersebut masih sulit dibuktikan, dan hingga kini klaim-klaim terhadap karya seni yang hilang sering kali terkendala oleh kurangnya bukti yang cukup.
Salah satu contoh yang menarik adalah koleksi seniman Egbert van Orsoy de Flines dan Anna Resink-Wilkens, yang sebagian koleksinya ditemukan masih ada di museum-museum Indonesia. Begitu pula dengan enam lukisan pastel karya pelukis Belanda Willem Gerrard Hofker, yang pada masa setelah Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) sempat menjadi koleksi Presiden Sukarno.
Meskipun tidak ada bukti bahwa Sukarno mengetahui bahwa karya-karya tersebut adalah benda seni yang dijarah, fakta bahwa salah satu lukisan Hofker, Mebakti in Prayer, masih terpajang di ruang kerja Presiden Prabowo Subianto di Istana Bogor, memunculkan pertanyaan mengenai status legal dan moral benda seni tersebut.
Wim Hofker, seorang pelukis yang belajar di Rijksacademie voor Beeldende Kunsten di Amsterdam, adalah salah satu seniman Belanda yang menghabiskan waktu di Bali selama tahun 1938. Karyanya yang terkenal menggambarkan keindahan alam Bali dan kehidupan masyarakat setempat, dengan banyak menampilkan perempuan Bali sebagai subjek utama. Hofker juga membuat lukisan-lukisan tentang kehidupan sehari-hari di Bali yang kemudian dikenal secara internasional.
Namun, saat Perang Dunia II meletus, Hofker dan istrinya, Maria Rueter, bersama dengan seniman lain seperti Johan Rudolf Bonnet, dipaksa masuk ke kamp interniran oleh pasukan Jepang. Di sana, meskipun hidup dalam kesulitan, Hofker tetap melanjutkan karya seni dengan peralatan seadanya. Lukisan-lukisan seperti Mebakti in Prayer dan Balinese Women with Child mencerminkan kehidupan Bali yang damai sebelum konflik besar mengubah semuanya. Lukisan-lukisan ini, yang kini menjadi bagian dari koleksi seni Indonesia, menambah kompleksitas isu repatriasi.
Pada akhir 2023, Selina Hofker, kerabat dari Wim Hofker, mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda untuk meminta repatriasi enam lukisan karya Hofker yang berada di Indonesia. Surat itu mencatat ketidakjelasan mengenai proses pemindahan karya-karya tersebut, serta perlunya upaya untuk mengembalikan karya-karya tersebut ke Belanda. Namun, pemerintah Belanda pada saat itu menanggapi dengan keraguan, menyebutkan berbagai pertimbangan, mulai dari nilai budaya dan sejarah benda seni tersebut hingga dampaknya terhadap kebijakan luar negeri dan pertimbangan finansial.
Pemerintah Belanda tampaknya masih enggan untuk mengajukan repatriasi, meskipun masalah ini terus berkembang seiring dengan kesadaran global tentang keadilan atas pencurian warisan budaya. Salah satu tantangan utama adalah ketidakseimbangan informasi dan bukti yang jelas, mengingat peristiwa Perang Dunia II dan pendudukan Jepang yang telah menyebabkan banyak karya seni berpindah tangan tanpa dokumentasi yang memadai.
Isu repatriasi benda seni ini bukan hanya soal keadilan sejarah, tetapi juga melibatkan berbagai dimensi politik, ekonomi, dan sosial. Apakah Indonesia akan mempertimbangkan untuk mengembalikan karya-karya seni Belanda? Atau akankah terus ada perdebatan tentang siapa yang berhak memiliki dan merawat warisan budaya dunia? Satu hal yang pasti, perdebatan ini akan terus berlanjut, memaksa negara-negara untuk lebih hati-hati dalam memperlakukan warisan budaya dan sejarah yang dibawa oleh peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah dunia. (mth)