INUKJUAK | Priangan.com – Musim panas tahun 1953, sebuah keputusan pemerintah Kanada mengubah hidup banyak keluarga Inuit selamanya. Mereka diminta meninggalkan rumah mereka di Quebec Utara dan dipindahkan ke daerah kutub, sekitar 2.000 km jauhnya.
Mereka diberikan janji oleh pemerintah sebuah kesempatan berburu yang lebih baik dan kebebasan untuk kembali setelah dua tahun.
Namun, janji-janji itu tidak ditepati. Keluarga-keluarga Inuit yang direlokasi terjebak di lingkungan asing yang keras, berjuang melawan dingin ekstrem, kelaparan, dan penyakit. Mereka begitu jauh hingga tak mungkin melarikan diri.
Pemerintah Kanada mengklaim relokasi ini dilakukan demi kesejahteraan Inuit, membantu mereka kembali ke kehidupan tradisional mereka.
Tetapi, di balik itu ada motif tersembunyi. Saat itu Perang Dingin, dan Kanada ingin menegaskan kedaulatannya di Kutub Utara serta menghentikan pemburu Greenland yang berburu beruang kutub. Keberadaan pemukim Inuit juga berfungsi sebagai elemen sipil untuk memperkuat klaim Kanada atas wilayah tersebut.
Sebanyak sepuluh keluarga direlokasi, tujuh dari Inukjuak dan tiga dari komunitas Pond Inlet di Pulau Baffin. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, mereka dibagi menjadi dua kelompok. Satu dikirim ke Craig Harbour di Pulau Ellesmere, satu lagi ke Resolute Bay di Pulau Cornwallis.
Ketika mereka tiba, yang mereka temukan bukanlah kehidupan yang lebih baik. Tidak ada rumah, hanya tanah tandus. Sumber makanan sangat terbatas. Mereka harus menghadapi kegelapan total selama musim dingin dan matahari yang tak pernah tenggelam di musim panas.
Orang tua yang direlokasi merasa terjebak di tempat yang mereka sebut sebagai ‘Pulau Penjara’. Mereka dibiarkan hidup sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Tidak ada yang bisa melarikan diri karena tempat itu begitu terpencil.
Relokasi ini tidak hanya meninggalkan luka fisik tetapi juga luka psikologis yang dalam. Banyak dari mereka kehilangan anggota keluarga akibat tekanan mental dan fisik yang berat. Salah satunya adalah ayah Audlaluk, yang dulunya seorang pria supel, berubah menjadi pendiam dan sering pingsan. Ia meninggal hanya sepuluh bulan setelah tiba di Grise Fiord.
Namun, dari pengalaman pahit ini, lahir pula perubahan besar. Salah satu orang buangan Arktik Tinggi lainnya, John Amagoalik, yang dikenal sebagai ‘Bapak Nunavut’, memperjuangkan pembentukan wilayah Nunavut sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang mereka alami.
Dampaknya begitu besar bagi orang-orang seperti John Amagoalik, yang kemudian berperan dalam pembentukan Nunavut. Pengalaman relokasi ini mengajarkan dengan cara yang keras tentang dampak buruk birokrasi terhadap kehidupan masyarakat. Dalam sistem pemerintahan, tidak ada unsur manusia, hanya mesin birokrasi yang terus berjalan tanpa memperhitungkan penderitaan individu.
Pada tahun 2010, pemerintah Kanada akhirnya meminta maaf. Selain itu, dana kompensasi sebesar $10 juta diberikan kepada komunitas yang terdampak. Menteri Urusan Suku Indian dan Pembangunan Wilayah Utara, John Duncan, menyampaikan permintaan maaf tersebut.
Namun, bagi banyak penyintas relokasi, itu belum cukup. Biaya hidup di Grise Fiord dan Resolute Bay masih sangat tinggi. Dukungan nyata dari pemerintah masih terus dituntut untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Meskipun mengalami penderitaan, mereka yang direlokasi dan keturunan mereka berhasil membangun komunitas yang dinamis. Pada tahun 2010, monumen peringatan didirikan untuk mengenang mereka yang berkorban akibat relokasi ini.
Di Grise Fiord, monumen itu menggambarkan seorang wanita dengan seorang anak laki-laki dan seekor anjing husky, memandang sedih ke arah Resolute Bay. Sementara di Resolute Bay, patung seorang pria berdiri sendiri, menghadap ke arah Grise Fiord, melambangkan keluarga yang terpisah dan kerinduan mereka untuk bertemu kembali.
Relokasi keluarga Inuit ke Kutub Utara adalah babak tragis dalam sejarah Kanada. Kisah ini tidak boleh dilupakan. (LSA)