TASIKMALAYA | Priangan.com – Kekurangan guru di Kabupaten Tasikmalaya masih menjadi persoalan mendesak yang belum terselesaikan. Hingga kini, daerah dengan 39 kecamatan dan 351 desa itu mencatat defisit sekitar 6.000 tenaga pendidik.
Kondisi tersebut menimbulkan tekanan besar bagi penyelenggaraan pendidikan dasar, yang bergantung pada kecukupan jumlah guru di setiap satuan pendidikan.
Data pemerintah daerah menunjukkan, Tasikmalaya memiliki 1.342 sekolah, terdiri atas 1.056 sekolah dasar dan 286 sekolah menengah pertama. Dengan jumlah kekurangan yang cukup besar, rata-rata setiap sekolah masih membutuhkan empat guru tambahan untuk menjalankan proses pembelajaran secara ideal. Situasi ini berlangsung bertahun-tahun dan belum menemukan solusi komprehensif.
Wakil Bupati Tasikmalaya, Asep Sobari Al Ayubi, menyatakan kekurangan guru tersebut telah berdampak langsung pada kualitas layanan pendidikan. Ia menilai kondisi ini telah melewati batas toleransi dan membutuhkan penanganan segera.
“Kekurangan guru itu bukan sekadar angka. Dampaknya terasa pada proses belajar dan pemerataan mutu pendidikan,” ujar Asep kepada wartawan, Kamis (27/11/2025).
Ia menambahkan bahwa persoalan tersebut turut memengaruhi kemampuan sekolah dalam menjalankan kurikulum secara utuh.
Keterbatasan tenaga pendidik membuat sejumlah guru harus merangkap mengajar berbagai mata pelajaran di luar kompetensinya.
Praktik tersebut, menurut Asep, terpaksa dilakukan demi memastikan kegiatan belajar tetap berlangsung. “Kami menemukan guru yang mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus karena tidak ada pilihan lain. Kondisi ini jelas tidak ideal untuk kualitas pembelajaran,” katanya.
Upaya pemerintah daerah untuk menambah jumlah guru terus dilakukan melalui pengajuan formasi ASN dan PPPK. Namun, pengusulan itu kerap tidak sebanding dengan kebutuhan di lapangan.
“Setiap tahun kami mengajukan formasi besar, tetapi kuota yang diberikan pusat tidak sesuai kebutuhan daerah,” kata Asep.
Ia mengakui persoalan itu bukan hanya terjadi di Tasikmalaya, tetapi juga di sejumlah daerah lain yang menghadapi ketimpangan serupa.
Menurut Asep, penyelesaian persoalan kekurangan guru membutuhkan intervensi kebijakan nasional. Pemerintah pusat diminta memberikan perhatian lebih besar, terutama bagi daerah dengan kekurangan guru yang sangat tinggi.
“Kami berharap pemerintah pusat membuka ruang kebijakan yang lebih afirmatif. Kebutuhan guru di daerah seperti Tasikmalaya ini mendesak dan tidak bisa ditunda,” ujarnya.
Di lapangan, fenomena itu telah berlangsung cukup lama. Seorang guru honorer di Kecamatan Cipatujah mengaku kerap berpindah dari satu kelas ke kelas lain dalam satu hari. Ia mengajar mata pelajaran yang tidak sepenuhnya ia kuasai.
“Kadang saya harus mengajar matematika, lalu IPA, setelah itu Bahasa Indonesia. Kami berusaha semampunya, tetapi tentu ada keterbatasan,” ujarnya.
Menurut dia, banyak honorer berada pada posisi serupa, bekerja melebihi tugas pokok mereka dengan kesejahteraan yang belum memadai.
Peran guru honorer menjadi semakin menonjol seiring bertambahnya kekosongan formasi. Di sejumlah sekolah, mereka bahkan menjadi penopang utama proses belajar mengajar. (yna)

















