JAKARTA | Priangan.com – Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, Jakarta sedang berada dalam suasana yang kacau dan penuh ketidakpastian. Pemerintah Republik yang baru lahir masih berjuang mengonsolidasikan kekuasaan, sementara pasukan Jepang belum sepenuhnya pergi dan pasukan Sekutu belum sepenuhnya datang.
Di tengah transisi kekuasaan ini, banyak peristiwa besar yang luput dari sorotan sejarah. Salah satunya adalah kisah mencengangkan tentang perampokan besar-besaran yang melibatkan emas, perhiasan, dan uang tunai dalam jumlah luar biasa yang dilakukan bukan oleh bandit biasa, melainkan oleh seorang perwira Jepang dan jaringan intelijen internasional.
Beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dua truk besar berhenti di halaman kantor pusat Jawatan Pegadaian (saat itu disebut Pandhuisdients) di Jalan Kramat Raya No. 132, Jakarta. Truk tersebut datang bukan untuk urusan administrasi, tetapi untuk mengangkut emas, perak, berlian, dan bundelan uang tunai.
Di balik operasi itu adalah Kapten Hiroshi Nakamura, perwira militer Jepang dari unit Polisi Militer Kempetai, yang mengklaim bahwa ia hanya menjalankan perintah atasannya, Letnan Kolonel Akira Nomura dari Gunseikanbu atau lembaga pemerintahan militer Jepang di Hindia Belanda.
Barang-barang berharga itu dikeluarkan dari gudang pegadaian dan dimasukkan ke dalam 20 sampai 25 koper besar. Isinya tak main-main. Hampir satu ton perhiasan dan logam mulia, dengan nilai ditaksir mencapai 86 juta gulden, ditambah uang kertas Javasche Bank senilai 150.000 gulden. Dengan dalih untuk membiayai pasukan Jepang yang masih berada di kamp-kamp Indonesia, koper-koper tersebut rencananya akan dibawa ke kantor Nomura.
Namun, rencana tinggal rencana. Koper-koper itu justru dialihkan ke rumah Carla Wolff de Jong, istri simpanan Nakamura, yang tinggal di kawasan elite Menteng, tepatnya di Villalaan yang kini dikenal sebagai Jalan Cendana.
Carla, seorang perempuan keturunan campuran Eropa-Asia (Eurasia), kemudian membantu menyortir isi koper dibantu seorang remaja Belanda berusia 16 tahun bernama Bram Roukens. Perhiasan-perhiasan yang semula berjumlah sembilan tumpukan itu dipisah menjadi delapan tumpukan besar, sebab satu di antaranya kemudian diminta Carla untuk dirinya sendiri. Ia berdalih bahwa harta itu akan digunakan membesarkan anak-anaknya. Permintaan itu dikabulkan Nakamura, yang luluh melihat Carla menangis. Sisanya, sebanyak enam tumpukan, akhirnya dikirim ke kantor Nomura.
Namun, alih-alih dipergunakan untuk tujuan resmi, harta tersebut tidak pernah bisa ditelusuri keberadaannya dengan pasti. Nomura hanya menyatakan bahwa barang-barang itu akan didistribusikan ke kamp-kamp tentara Jepang di Jawa.
Fakta di lapangan berbicara lain, tidak ada tanda-tanda peredaran logam mulia dalam jumlah besar di wilayah-wilayah yang disebut, seperti Bogor. Justru yang muncul adalah perdagangan gelap perhiasan di Bandung, ratusan kilometer jauhnya dari lokasi penyimpanan.
Kekayaan mendadak yang diperoleh Carla membuat gaya hidupnya berubah drastis. Ia mulai hidup hedonistik, gemar pamer, dan berbicara terbuka tentang kekayaannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Saya lebih kaya dari Ratu Belanda. Saya akan tidur di ranjang emas dan para tamu akan makan di piring emas,” ucapnya dalam buku Rampok karya Musa Dahlan. Ucapan jumawa ini kemudian menarik perhatian intelijen Inggris dan Belanda, terlebih karena Carla diketahui merupakan anggota organisasi gerilya pro-Belanda, Nederlandsch-Indische Guerrilla Organisatie (NIGO).
Pada Februari 1946, Kapten Nakamura akhirnya ditangkap oleh British Field Security Service (FSS). Awalnya ia dicurigai terlibat dalam jaringan bawah tanah bernama Black Fan, kelompok gerilyawan Jepang-Indonesia yang diduga ingin melawan Sekutu.
Namun dalam serangkaian interogasi, Nakamura mengakui bahwa ia memang melakukan aksi penggelapan besar-besaran dari kantor Pegadaian. Ia bahkan menyebut nama-nama yang terlibat dan menjelaskan bahwa dua dari sembilan tumpukan perhiasan ia simpan sendiri, satu diberikan ke Carla.
Penyelidikan berkembang dan membuka tabir gelap keterlibatan berbagai pihak, termasuk tiga petugas intelijen FSS Inggris, Mayor B. Williams, Kapten John Raz Hazel Morton, dan Sersan Mayor Kent Dawson, serta dua agen NEFIS (dinas intelijen militer Belanda), Maurits Noach dan Renee Georgette Ulrich.
Alih-alih mengamankan barang bukti, mereka justru turut serta dalam penggelapan harta rampasan itu. Sebagian besar emas dilebur dan dijual di pasar gelap, membuat jejak harta semakin sulit dilacak. Media internasional seperti The Times (London), The Straits Times (Singapura), dan majalah The Sphere menurunkan laporan mendalam mengenai keterlibatan para intel ini dalam skandal memalukan tersebut.
Pengadilan militer di Singapura akhirnya menjatuhkan vonis 10–12 tahun penjara bagi Williams, Morton, dan Dawson, serta memecat mereka dari dinas militer. Mereka juga dihukum kerja paksa di Burma.
Sementara itu, di Jakarta, Kapten Nakamura dan Letkol Nomura diadili dalam Pengadilan Militer Khusus yang dipimpin oleh Hakim Ketua LF de Groot. Jaksa penuntut Eduard Brunsveld van Haulten menjatuhkan dakwaan kepada enam tersangka lainnya, termasuk Carla, Ong Wie Soen, Tio Wie Koen, Renee Ulrich, Maurits Noach, dan Direktur Pegadaian JBP Kroon.
Putusan akhir diumumkan pada Februari 1949. Nakamura dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun, sedangkan Nomura 5 tahun. Carla dan Ulrich masing-masing diganjar hukuman 8 bulan penjara, dan Noach dijatuhi 14 tahun. Setelah beberapa bulan mendekam di penjara Jakarta, Nakamura dan Nomura dipulangkan ke Jepang pada akhir tahun yang sama. Nakamura dikabarkan dibebaskan pada 1956.
Sementara itu, harta hasil rampokan emas, berlian, perak, dan uang tunai bernilai lebih dari 86 juta gulden tidak pernah ditemukan hingga hari ini. Sebagian hanya tercatat dalam pengakuan, sisanya menghilang tanpa jejak. Hingga kini, kasus ini masih menyisakan misteri besar letak sesungguhnya harta karun dari kantor Pegadaian Jakarta. (LSA)