Rahmat Shigeru Ono: Dari Penjajah Menjadi Pejuang Republik Indonesia

JAKARTA | Priangan.com – Di masa ketika dunia diliputi bayang-bayang kekalahan dan penjajahan, Jepang menyerah pada Sekutu. Bendera matahari terbit akhirnya diturunkan, termasuk di tanah Hindia Belanda yang sempat mereka duduki. Di berbagai sudut Nusantara, tentara-tentara Jepang mendadak kehilangan arah. Mereka bukan lagi penjajah, bukan pula pahlawan. Banyak yang memilih pulang dengan kepala tertunduk. Sebagian lain memilih mati dengan kehormatan lewat harakiri. Namun, ada juga segelintir yang mengambil jalan paling tak biasa dengan tinggal, menetap, dan bahkan memutuskan berpihak pada Indonesia.

Salah satunya bernama Shigeru Ono. Seorang prajurit dari Hokkaido, yang tiba di tanah Jawa sebagai bagian dari militer kekaisaran. Alih-alih kembali ke negeri asalnya, ia justru mengubah haluan hidupnya secara drastis dengan menjadi pejuang republik. Bahkan, ia mengambil nama baru Rahmat Shigeru Ono dan bertarung demi kemerdekaan Indonesia yang belum genap lahir.

Ia tidak sendirian. Sekitar 324 eks tentara Jepang memang memilih tinggal di Indonesia pasca-perang, menurut data Yayasan Warga Persahabatan.

Dalam memoar yang dikutip dari buku Mereka yang Terlupakan karya Eiichi Hayashi, Ono menuturkan dua alasan mengapa ia menolak pulang. Pertama, ia masih memegang mimpi lamanya untuk membebaskan Asia dari kolonialisme Barat. Kedua, ia merasa Jepang punya utang janji kepada rakyat Indonesia, yaitu janji kemerdekaan yang tak pernah sempat ditepati karena kekalahan yang datang terlalu cepat.

Kecewa pada negerinya sendiri dan bersimpati pada penderitaan rakyat Indonesia yang ia saksikan langsung, seperti Bandung terbakar, warga sipil dipukul dan dibunuh tanpa ampun oleh pasukan Sekutu, membuat Ono mantap memihak Republik.

Ia mulai dari belakang layar, dari menerjemahkan buku strategi perang bersama rekannya, Abdul Rahman Tatsuo Ichiki. Sebab, buku ini akan sangat membantu pelatihan militer tentara Republik Indonesia yang saat itu masih baru dan kekurangan sumber daya pelatihan.

Lihat Juga :  Gunung Galunggung Meletus

Namun, semangatnya tidak cukup hanya disalurkan melalui kerja di balik meja, ia ingin bertempur bersama rakyat Indonesia secara langsung. Sehingga, ia mengajukan diri untuk terjun ke garis depan pada 1946. Lalu di tahun berikutnya, ia sudah menjadi staf pendidikan militer di Magetan dan ikut serta dalam operasi-operasi gerilya. Ia bahkan membantu menyusun peta wilayah di Malang dan dinaikkan pangkat dari sersan menjadi letnan.

Menjadi mantan tentara Jepang di republik muda bukan perkara mudah. Setelah Perjanjian Renville, situasi menjadi genting. Para eks serdadu Jepang mulai diburu.

Maka Ono dan kawan-kawan berkumpul di Wlingi, Blitar, dan membentuk Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) pada 24 Juli 1948. Pertempuran pertama mereka melawan Belanda di Panjaran, Malang, menjadi momen penting. PGI dikenal karena keberanian luar biasa. Tapi harga yang harus dibayar pun tidak kecil, komandan mereka gugur dan Ono sendiri tertembak hingga kehilangan tangan kirinya.

Lihat Juga :  Sungai Merah, Kota yang Berdarah: Pembantaian 10.000 Warga Tionghoa Tahun 1740

Luka itu tidak menghentikan langkahnya. Ia terus bertahan, bahkan setelah PGI dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia sebagai Pasukan Untung Suropati 18.

Ketika perang usai dan kedaulatan diakui pada 1949, Ono memilih hidup tenang di Batu, Jawa Timur. Pada 1952, Ono resmi menjadi WNI, dan baru di tahun itulah ia kembali bisa berkabar dengan ibunya di Jepang, setelah sebelumnya sengaja mengirim surat bahwa ia telah tewas agar keluarganya tak menunggu dan mencarinya.

Meski bergelar purnawirawan mayor, hidupnya jauh dari kemewahan. Ia bekerja sebagai petani sayur dan apel untuk menafkahi keluarga,\ karena uang pensiun tak mencukupi. Ia juga pernah bekerja di perusahaan Jepang di Jakarta, lalu pindah ke Kalimantan Selatan untuk berdagang rotan.

Lihat Juga :  Ki Wasyid dan Api Perlawanan Banten yang Membakar Cilegon 1888

Namun, di tengah segala keterbatasan, ia tetap menyimpan semangat perjuangan. Setiap tanggal 10 November, Ono tak pernah absen mengunjungi lokasi tempat gugurnya Ichiki, sahabat seperjuangannya, sebuah ritual pribadi untuk mengenang perjuangan yang pernah mereka lakoni bersama.

Rahmat Shigeru Ono menghembuskan napas terakhirnya pada 25 Agustus 2014 dalam usia 94 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Kota Batu. Di rumahnya yang sederhana di Jalan Cemara Kipas, masih tergantung samurai peninggalannya, piagam-piagam dari negara, serta dua penghargaan tertinggi yang ia terima, Bintang Gerilya dan Bintang Veteran dari Presiden Soekarno.

Masyarakat mengenalnya dengan nama khas Rahmat Jepang, identitas yang menyatu antara masa lalu dan tanah yang ia pilih sebagai rumah.

Kini, Rahmat Shigeru Ono menjadi penutup dari kisah eks serdadu Jepang yang memilih membela Indonesia. Ia bukan hanya tentara yang berpindah haluan, tapi seorang pejuang yang menjadikan republik ini sebagai tanah air baru, bahkan sebelum negara ini resmi berdiri. Dan kisahnya adalah pengingat bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tak hanya lahir dari darah dan tanah bangsa sendiri, melainkan juga dari keberanian hati orang asing yang memilih untuk tidak pergi. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos