JAKARTA | Priangan.com — Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mendorong kehadiran negara dalam mendukung keberlangsungan media massa di tengah tekanan ekonomi industri pers dan meningkatnya ancaman disinformasi yang berdampak pada kualitas masyarakat. Dorongan tersebut mengemuka dalam diskusi Kaleidoskop Media Massa 2025 yang digelar PWI dan disiarkan melalui kanal podcast Akbar Faisal Uncensored, akhir Desember 2025.
Diskusi yang menghadirkan sembilan narasumber dengan Akbar Faisal sebagai moderator itu menyoroti berbagai persoalan struktural yang dihadapi media massa. Mulai dari pertanyaan mengenai relevansi media arus utama di era digital, hingga kondisi kesejahteraan wartawan yang dinilai semakin tertekan akibat melemahnya ekosistem bisnis media.
Ketua Umum PWI Pusat l, Akhmad Munir, menilai situasi tersebut menuntut keterlibatan negara. Menurut Munir, negara perlu hadir bukan sebagai pengendali konten, melainkan sebagai penopang ekosistem agar media tetap dapat menjalankan fungsi publiknya secara sehat dan independen.
“Yang dimaksud negara bukan pemerintah dalam arti kekuasaan, tetapi negara sebagai penjamin keberlangsungan fungsi pers,” kata Munir dalam diskusi tersebut.
Munir mengemukakan sejumlah bentuk dukungan yang dinilai dapat dipertimbangkan, antara lain insentif tax holiday bagi perusahaan media, keringanan tarif listrik untuk industri pers, hingga skema tunjangan bagi wartawan yang telah memiliki sertifikat uji kompetensi.
Gagasan tersebut memunculkan beragam respons di kalangan peserta diskusi. Namun sejumlah narasumber menilai usulan tersebut mencerminkan kegelisahan kolektif insan pers yang selama ini menghadapi tekanan ekonomi berkepanjangan. Situasi serupa, menurut mereka, pernah terjadi saat pandemi Covid-19, ketika media massa menerima dukungan melalui skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Di sisi lain, kondisi fiskal negara saat ini dinilai tidak longgar. Sejumlah prioritas belanja pemerintah bersaing ketat, sementara sebagian belanja kementerian dan lembaga masih dinilai boros dan kurang efisien.
Diskusi juga menyoroti tantangan yang lebih luas, yakni meningkatnya gangguan kesehatan mental akibat paparan disinformasi. Sejumlah narasumber mengaitkan fenomena tersebut dengan apa yang disebut sebagai Global Anxiety atau The Age of Anxiety, sebuah era kecemasan global yang dipicu oleh krisis berlapis (polycrisis).
Data yang dipaparkan dalam diskusi menyebutkan sekitar 8 hingga 10 persen populasi dunia mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Di Indonesia, jumlah penderita yang tercatat secara medis diperkirakan mencapai 32 juta orang. World Economic Forum mencatat kerugian ekonomi global akibat hilangnya produktivitas yang dipicu gangguan kesehatan mental mencapai sekitar USD 1 triliun per tahun.
Paparan informasi negatif secara terus-menerus, termasuk hoaks, miscaption, dan konten manipulatif berbasis teknologi seperti deepfake, disebut sebagai salah satu faktor utama. Survei Digital News Report 2025 menunjukkan 57 persen masyarakat Indonesia memperoleh informasi dari media sosial, bukan dari media massa arus utama.
Kondisi tersebut menjadikan media sosial sebagai pembentuk opini publik, sementara mekanisme verifikasi informasi sering kali tertinggal. Sejumlah narasumber menilai media massa memiliki peran strategis sebagai penangkal disinformasi, meskipun upaya klarifikasi yang dilakukan media kerap kalah cepat dibandingkan laju penyebaran informasi palsu di ruang digital.
Dalam konteks itu, diskusi menilai dukungan negara terhadap media massa dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya menjaga kualitas manusia dan stabilitas sosial. Peran media dipandang penting sebagai penyedia informasi yang terverifikasi di tengah arus disinformasi yang dinilai berpotensi mengganggu ketahanan mental masyarakat. (Eri)

















