Historia

Propaganda Visual: Bagaimana Foto Dimanipulasi untuk Kekuasaan

Nikola Yezhov (kanan) dihapus oleh Joseph Stalin | Wikimedia Commons.

MOSKOW | Priangan.com –  Eksistensi kecerdasan buatan (AI) di era modern semakin mempermudah manipulasi foto dan video dengan fitur canggih yang tidak tersedia di masa lalu. Teknologi AI generatif memungkinkan pembuatan gambar dan video baru, termasuk yang dikenal sebagai deepfake.

Meskipun teknologi AI yang menghasilkan gambar palsu tergolong baru, praktik mengedit foto untuk kepentingan politik sudah ada sejak lama. Jauh sebelum istilah deepfake dikenal, manipulasi foto telah digunakan untuk membentuk citra para pemimpin dunia. Pada abad ke-19 dan ke-20, berbagai teknik pengeditan foto digunakan untuk mengubah persepsi publik terhadap tokoh-tokoh tertentu.

Sejak awal perkembangan fotografi, foto tidak selalu dianggap sebagai representasi objektif dari realitas. Fotografer Henry Peach Robinson dalam tulisannya pada tahun 1869 menyatakan bahwa foto tidak harus menjadi fakta yang benar-benar literal, tetapi harus mampu mewakili suatu kebenaran.

Namun, kebenaran seperti apa yang dimaksud? Foto-foto dapat digunakan untuk menghidupkan kembali sosok yang telah meninggal demi menghibur keluarga yang berduka atau bahkan menggambarkan patriotisme seorang prajurit yang bersiap untuk berperang.

Proses membentuk “kebenaran” ini sering kali melibatkan perubahan pada foto. Dalam kamar gelap, fotografer memiliki kendali besar atas pembingkaian dan pencahayaan suatu gambar. Negatif foto dapat diekspos dua kali, bahkan beberapa negatif foto bisa dipotong dan digabungkan kembali untuk menghasilkan gambar komposit yang tampak autentik.

Sekitar tahun 1865, sebuah gambar terkenal memperlihatkan Abraham Lincoln dalam pose anggun. Namun, gambar tersebut ternyata palsu. Wajah Lincoln dipotong dan ditempelkan ke tubuh John C. Calhoun, seorang politikus pro-perbudakan. Penggambaran ini mungkin dibuat setelah kematian Lincoln untuk memperkuat citranya sebagai seorang martir.

Di era berikutnya, Uni Soviet juga menggunakan manipulasi foto untuk memperkuat citra pemimpin politik. Selama pemerintahan Josef Stalin (1924–1953), manipulasi foto tidak hanya digunakan untuk meningkatkan citra pemimpin tetapi juga untuk menulis ulang sejarah sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Tonton Juga :  Tatang Koswara: Sang Legenda Penembak Jitu Indonesia

Stalin dan para pendukungnya sering kali menghapus individu dari foto resmi ketika mereka tidak lagi diinginkan dalam sejarah politik Soviet. Salah satu contoh manipulasi foto yang paling terkenal terjadi pada tahun 1937. Dalam foto asli, Stalin terlihat bersama tiga rekannya, termasuk pejabat polisi rahasia Nikolai Yezhov.

Namun, setelah Yezhov kehilangan kepercayaan Stalin dan dieksekusi pada tahun 1941, foto tersebut diterbitkan kembali tiga tahun kemudian tanpa keberadaan Yezhov, seolah-olah ia tidak pernah ada.

Saat ini, organisasi seperti Content Authenticity Initiative telah mengembangkan teknologi untuk memverifikasi keaslian gambar digital dan mendeteksi pengaruh AI dalam manipulasi gambar. Namun, bagaimana dengan foto-foto yang telah dimanipulasi sebelum era digital?

Menurut Micah Messenheimer, seorang kurator fotografi di Perpustakaan Kongres, mengetahui sejarah foto adalah kunci untuk menentukan keasliannya. Selain itu, para konservator juga dapat menganalisis sifat fisik sebuah foto, termasuk komposisi kimia, usia kertas, dan teknik pewarnaan yang digunakan.

Terkadang, manipulasi foto dapat terungkap hanya dengan perasaan bahwa foto tersebut tidak terlihat benar. Pada tahun 2007, Kathryn Blackwell, seorang asisten ruang baca di Perpustakaan Kongres, merasa ada sesuatu yang aneh pada sebuah foto yang menggambarkan Ulysses S. Grant di kamp militer selama Perang Saudara.

Setelah penyelidikan lebih lanjut, diketahui bahwa gambar tersebut merupakan gabungan dari beberapa sumber. Kepala Grant dipotong dan ditempelkan pada tubuh perwira lain, sementara latar belakangnya berasal dari foto yang sepenuhnya berbeda. Para peneliti memperkirakan manipulasi ini terjadi sekitar tahun 1902, jauh setelah Grant meninggal pada tahun 1885.

Seiring perkembangan teknologi, manipulasi foto akan terus menjadi tantangan bagi keabsahan informasi. Oleh karena itu, literasi visual dan kemampuan menganalisis keaslian gambar menjadi semakin penting. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menerima informasi visual dan mengandalkan sumber yang kredibel untuk memastikan kebenaran suatu gambar. Dengan demikian, manipulasi foto tidak lagi menjadi alat propaganda yang dapat dengan mudah menyesatkan publik. (Lsa)

Tonton Juga :  Ides of March, Peristiwa Pembunuhan Tragis Julius Caesar

 

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: