YPRES | Priangan.com – Dalam catatan sejarah Perang Dunia I, nama Ypres selalu menghadirkan gambaran tentang pertempuran panjang yang melelahkan di Flanders, Belgia. Kota kecil ini menjadi simbol betapa sengitnya peperangan di front barat, karena tidak hanya sekali, melainkan berulang kali menjadi ajang perebutan antara Sekutu dan Jerman.
Dari semua pertempuran yang berlangsung di sana, Pertempuran Ypres Ketiga pada tahun 1917 menonjol sebagai salah satu yang paling berdarah. Pertempuran ini lebih dikenal dengan nama Passchendaele, sebuah rangkaian operasi yang berlangsung selama beberapa bulan dengan kondisi medan yang mengerikan, dengan tanah berlumpur, hujan tiada henti, dan artileri yang mengguncang tanpa henti.
Di tengah pertempuran besar itulah terjadi sebuah episode yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Polygon Wood, peristiwa yang menelan ribuan korban hanya dalam hitungan hari dan meninggalkan jejak mendalam bagi para prajurit yang terlibat.
Pertempuran Polygon Wood berlangsung di sebuah kawasan hutan yang dulunya berbentuk segi banyak dan pernah digunakan sebagai arena pacuan kuda. Karena itu, tempat ini juga disebut Racecourse Wood. Lokasinya hanya sekitar empat mil dari kota Ypres, namun pada tahun 1917, hutan ini berubah menjadi lahan penuh kawah dan reruntuhan akibat bombardir tanpa henti. Pohon-pohon yang dulu menjulang habis berkeping-keping dihantam artileri, menjadikan hutan itu nyaris tidak lagi bisa disebut hutan.
Dilansir dari Battle Field Travels, serangan besar dimulai pada 25 September 1917 dengan tembakan persiapan dari artileri berat Sekutu yang diarahkan ke posisi Jerman di sekitar Polygon Wood. Tujuannya jelas, untuk menghancurkan kawat berduri, melemahkan titik pertahanan, dan menekan artileri Jerman. Malam itu, Jerman melancarkan serangan mendadak di sepanjang Jalan Menin untuk merusak persiapan Sekutu, tetapi berhasil dipukul mundur oleh pasukan Inggris dan Australia.
Tanggal 26 September 1917 menjadi hari utama. Pukul 05.50 pagi, pasukan dari Divisi ke-4 dan ke-5 Australia, yang tergabung dalam Korps ANZAC I, mulai bergerak maju. Mereka didukung unit Inggris di sisi kiri dan kanan. Serangan ini menggunakan strategi ‘gigit dan tahan’ yang dirancang Jenderal Herbert Plumer, di mana pasukan bergerak perlahan di belakang rentetan tembakan artileri merayap sejauh seratus meter setiap tiga menit, merebut sasaran terbatas, lalu bertahan dari serangan balasan.
Medan tempur tidak bersahabat. Kawah besar akibat bombardir membuat tanah sulit dilintasi, jalan-jalan rusak, dan suplai sering kali hanya bisa dibawa dengan kereta kuda. Namun keunggulan bombardir memberi kesempatan bagi pasukan Australia untuk terus maju. Divisi ke-5 berhasil merebut Butte, sebuah gundukan buatan yang dulunya digunakan sebagai lapangan tembak militer Belgia, sekitar pukul setengah delapan pagi. Divisi ke-4 bergerak di sisi kiri, menguasai titik-titik penting, sementara unit Inggris menjaga kestabilan di kedua sayap.
Meski begitu, perlawanan Jerman tidak berhenti. Mereka masih memiliki bunker dan kotak pil yang tidak hancur, dari mana senapan mesin terus menyalak. Pertempuran jarak dekat pun terjadi di antara sisa batang pohon yang berserakan. Korban berjatuhan dalam jumlah besar. Divisi ke-4 Australia kehilangan lebih dari 1.700 orang, sementara Divisi ke-5 kehilangan lebih dari 5.000. Di pihak Inggris, korban mencapai lebih dari 10.000, sedangkan Jerman kehilangan sekitar 13.500 tentara hanya dalam beberapa hari.
Menjelang siang, Jerman melancarkan serangan balasan dengan pasukan cadangan yang diperkuat unit Eingreif. Mereka melepaskan artileri berat dengan peluru gas beracun. Sekitar pukul sembilan pagi, mereka mencoba merebut kembali Butte, tetapi pasukan Australia yang telah siap mampu menahan serangan itu dengan tembakan senapan, senapan mesin, dan artileri pertahanan. Sepanjang siang hingga malam, gelombang serangan balasan terus datang, tetapi Sekutu berhasil bertahan dan mengonsolidasikan posisi di sisi timur Polygon Wood.
Pertempuran berlanjut hingga awal Oktober. Dari 27 September sampai 2 Oktober, Jerman melancarkan serangan balasan dalam skala besar, namun tetap gagal. Kolonel Albrecht von Thaer, perwira Jerman, bahkan menulis dalam buku hariannya bahwa mereka sedang melalui hari-hari yang sungguh mengerikan, pengakuan yang menggambarkan beratnya tekanan dari pihak Sekutu.
Pada 3 Oktober, Polygon Wood akhirnya sepenuhnya dikuasai Sekutu. Walaupun kemajuan hanya sekitar satu kilometer, keberhasilan ini memberikan posisi penting yang mendukung operasi berikutnya.
Bagi tentara Australia, penderitaan tidak berhenti dengan berakhirnya pertempuran. Banyak peluru gas Jerman yang tidak meledak tetap tertanam di tanah. Saat musim panas 1918 tiba, panas matahari memicu peluru-peluru itu mengeluarkan uap beracun. Akibatnya, para prajurit masih terkena dampaknya berbulan-bulan setelah pertempuran usai. Polygon Wood pun tidak hanya meninggalkan ingatan akan pertempuran sengit, tetapi juga warisan beracun yang membahayakan lama setelah senjata berhenti berbunyi.
Kini, lebih dari seratus tahun kemudian, Polygon Wood berdiri kembali sebagai hutan yang hijau dan tenang. Jalan setapak yang dahulu dilalui prajurit Australia masih bisa ditemukan, demikian pula bunker Jerman yang tersisa. Di atas Butte berdiri obelisk Monumen Divisi ke-5 Australia untuk menghormati mereka yang gugur. Di sekitarnya, Pemakaman Polygon Wood dan Pemakaman Buttes New British menjadi tempat peristirahatan ribuan prajurit Persemakmuran, termasuk banyak orang Australia yang tewas di sana.
Kisah ini mengingatkan bahwa harga yang harus dibayar dalam Perang Dunia I sangatlah mahal, bukan hanya untuk merebut sepetak tanah, melainkan juga dalam bentuk penderitaan manusia yang tak ternilai. (LSA)