PANGANDARAN | Priangan.com – Keberadaan keramba jaring apung (KJA) di Pantai Timur Pangandaran, Jawa Barat, memicu polemik yang semakin ramai diperbincangkan. Program yang awalnya diperkenalkan sebagai solusi untuk mengatasi menurunnya hasil tangkapan ikan laut justru menimbulkan penolakan keras dari para pelaku wisata dan nelayan tradisional.
Sejumlah pelaku usaha di kawasan wisata andalan Jawa Barat itu menilai KJA tidak hanya mengganggu kenyamanan wisatawan, tetapi juga merusak tatanan ekosistem laut serta mengurangi ruang gerak nelayan lokal. Mereka khawatir, apabila keramba terus beroperasi, wajah Pantai Timur Pangandaran sebagai salah satu destinasi wisata unggulan akan tercoreng.
Informasi yang beredar menyebutkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan izin bagi tiga perusahaan, termasuk satu perusahaan asal Vietnam, untuk memanfaatkan Pantai Timur sebagai lokasi budidaya ikan dan baby lobster. Keputusan tersebut menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat, sebab para pelaku wisata mengaku tidak pernah diajak duduk bersama dalam proses diskusi maupun kesepakatan terkait pemasangan keramba.
Agus Gendon, salah seorang pelaku wisata Pangandaran, menegaskan bahwa pihaknya menolak keberadaan KJA di Pantai Timur. Ia menilai keramba justru mengganggu aktivitas wisata seperti olahraga air dan nelayan tradisional yang selama ini mengandalkan jaring arad.
“Kami tidak menolak keramba jaring apung di Pangandaran. Tapi jangan di Pantai Timur, karena di sinilah pusat aktivitas wisata dan nelayan tradisional. Wisatawan datang untuk menikmati laut dan pantai, bukan untuk melihat keramba,” ujar Agus.
Nada keberatan juga datang dari Adi Pranyoto, Ketua Forum Bela Pariwisata Pangandaran. Ia menyoroti KJA milik Universitas Padjadjaran (Unpad) yang digunakan untuk kepentingan riset. Menurutnya, penelitian memang penting, namun lokasi pemasangan tidak tepat karena berada di kawasan konservasi laut.
“Kalau untuk penelitian kami tidak mempermasalahkan. Tapi jangan sampai keberadaannya justru merusak. Jangkar KJA bisa merusak terumbu karang, padahal itu habitat ikan dan biota laut. Selain itu nelayan tradisional juga terganggu,” tegas Adi.
Pupung, pelaku usaha wisata lainnya, menyampaikan pandangan senada. Ia tidak menolak adanya investor yang ingin mengembangkan potensi ekonomi di Pangandaran. Namun ia menekankan pentingnya penataan zona agar pariwisata dan konservasi tetap berjalan.
“Kami mendukung investasi. Tapi untuk KJA harus jelas zonasinya. Jangan sampai berdiri di kawasan konservasi atau area wisata. Wisatawan ke Pangandaran itu ingin melihat keindahan pantai. Kalau terlalu banyak keramba, tentu pesona itu akan berkurang,” ungkap Pupung.
Saat ini para pelaku wisata masih menunggu langkah tim riset Unpad yang berjanji akan melakukan kajian lapangan. Mereka berharap kajian tersebut dapat memberikan solusi yang adil bagi semua pihak, sehingga tidak merugikan nelayan, pelaku wisata, maupun kelestarian laut.
Penolakan terhadap KJA sebelumnya juga telah disuarakan oleh ratusan warga yang tergabung dalam komunitas pelaku wisata. Mereka berpendapat, keberadaan keramba bertentangan dengan visi pemerintah daerah yang sejak awal berkomitmen menjadikan Pangandaran sebagai destinasi wisata unggulan Jawa Barat.
Polemik ini pun menempatkan pemerintah daerah dan pusat pada posisi sulit. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk mencari alternatif penghasilan bagi masyarakat nelayan melalui budidaya laut. Namun di sisi lain, keberlangsungan pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah juga harus dijaga. (yna)